(bagian 2)
Mahkamah Agung dan Hoge Raad
Pada 3 sampai dengan 7 Desember 2018, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) kembali memfasilitasi kunjungan kerja Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad der Nederlanden) ke Mahkamah Agung RI di Jakarta.
Dalam diskusi juga disinggung eksternal yang turut berpengaruh dalam menciptakan konsistensi putusan MA salah satunya adalah belum terbangunnya budaya atau mekanisme kritisi putusan pengadilan dalam perkuliahan, hal ini membuat MA RI tidak menyadari tentang inkonsistensi putusan lembaganya sendiri.
Selanjutnya dalam sesi diskusi mengemuka beberapa pertanyaan maupun pernyataan dari seluruh peserta FGD, yaitu sebagai berikut:
1. Advokat dalam menyusun gugatan maupun permohonan ke MA harus menggunakan yurisprudensi ataupun putusan-putusan hakim terdahulu sebagai dasar gugatannya.
2. Dalam putusannya Hakim wajib mempertimbangkan yurisprudensi. Apabila hal tersebut tidak dipertimbangkan, maka putusan akan dibatalkan di tingkat banding dengan alasan kurangnya pertimbangan.
3. Hoge Raad memiliki pedoman penyelesaian perkara-perkara yang tidak mengandung pertanyaan hukum yang sulit, sehingga perkara ini cukup dijawab dengan pertimbangan hukum yang sederhana. Dengan begitu, HR dapat berfokus pada penyelesaian perkara-perkara yang rumit dengan pertanyaan hukum yang sulit.
4. Parket Advocaaten dan Proceurer ini bertugas untuk memberikan nasihat kepada Hoge Raad dan independen terhadap pemerintah, parlemen, maupun partai politik meski tidak mengikat tapi daoat digunakan sewaktu-waktu tentang opsi hukum.
Pada dasarnya, tidak ada putusan hakim tanpa pertimbangan hukum. Perkara yang diajukan ke Hoge Raad adalah perkara yang mengandung pertanyaan hukum tertentu. Sesuai dengan aturan pada Pasal 81 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Belanda, hakim tidak dapat menerima perkara apabila tidak ada pertanyaan hukum di dalamnya.
Salah satu contoh dari pertanyaan hukum adalah penafsiran tentang ketentuan suatu undang-undang yang tidak jelas.
UU Kekuasaan Kehakiman sebagai asas. Di sana disebutkan bahwa hakim dalam memutus perkara wajib menggali, mengikuti, dan memahami hukum yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu, hakim dalam memutus perkara harus pandai membaca hukum yang hidup dan dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga dapat memutus seperti apa yang merupakan harapan masyarakat pada umumnya, rasa keadilan masyarakat.
Sekali lagi, Indonesia juga kaya akan hukum dan kebijaksanaan, diluar common law, civil law, anglo saxon maupun continental - kita sudah kaya dan ada bentuk yang dapat kita adaptasi didalam diri kita sendiri, ada banyak kebijakan yang bisa diadopsi.
Kemana saja kita selama ini? Andaikan van Vollenhoven masih hidup tentu dia akan tertawa keras dan hukum menangis karena diasingkan dirumahnya sendiri.
Nalar Hukum Indonesia
Masyarakat dan norma tidak bisa dipindahkan atau dilokalisir karena berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang dikenalnya selama ratusan tahun, mungkin lebih, ruang ini juga merupakan bagian dari sejarahnya, hidupnya, budaya, kesenian, hukum, etika, tata-krama, adab, bahasa, perilaku, filosofi dan bahkan watak.
Adalah sesuatu yang haram bilamana sebuah aturan kenegaraan itu mereduksi atau bahkan merubah suatu identitas yang muncul secara alamiah sehingga disebut sebuah kearifan yang lahir dari pengenalannya atas konsep tata ruang dan kedekatannya dengan ruang hidup tempat dimana diejawantahkannya suatu konsepsi adat.
Karena adat bukanlah hukum atau aturan akan tetapi kehidupan itu sendiri, bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia, tanah, air, udara dan lain sebagainya, karena dalam konsep adat bukan hanya manusianya yang memanfaatkan tata ruang tapi didasarkan kepada keyakinan bahwa lingkungan itu mengenali dan memilih manusianya.
Bukan sekedar kalimat ilmiah tentang perlunya kajian etnografik yang menyeluruh akan tetapi diperlukan pemahaman dan keyakinan tentang kejadian alamiah yang tidak bisa disederhanakan dengan tata aturan baru.
Ada dan hidupnya adat dan tradisi tidak dihasilkan dari pemikiran akademis... tapi nalar etis.
Maka dulu, nenek-moyang kita nggak mau mengenal ras dan etnis, dan perbedaan yang diteliti secara akademik itu (dulu) masuk dalam keberagaman tata-krama, sopan-santun, adab & status sosial... bukan strata sosial.
Desain hukum harusnya memiliki identitas.
Referensi dan sumber:
- hukumonline
- LeIP
- media elektronik hukum di internet
- catatan pribadi