(bagian 1)
Pelurusan Pola Pikir dan Pemaknaan Frasa
Berdasarkan sejarahnya, KUHPidana itu bukan produk koloni Belanda, meski memang diterapkan saat jaman Belanda ada di Indonesia.
Jadi, betul Kitab Undang Undang Hukum Pidana warisan 'sejak jaman' kolonial tapi bukan warisan kolonial - masalah mindset ini sangat berpengaruh terhadap kata KUHPidana denfan sentimen negatifnya yang menggeneralisir bahwa isinya pasti berkaitan dengan opresi, padahal tidak sama sekali, kecuali hanya sekian prosen saja, segelintir pasal saja, itupun diketahui hanya terbatas dikalangan hukum dan tidak dipahami diluar kalangan itu.
Hukum itu juga hasil adaptasi dari Hukum Romawi dan seterusnya, dan pembuatnya adalah para ahli dan para bijak.
Padahal, Belanda adalah Negara Kerajaan sedangkan Indonesia adalah Negara kerajaan-kerajaan, keragaman hukum yang pastinya Indonesia itu negara dimana banyak aturan hukum dan kebijaksanaan hidup, sehingga banyak sekali keputusan-keputusan mengenai permasalahan hukum rakyat yang dapat digali.
Ini berarti selain SDA Indonesia juga kaya akan hukum dan kebijaksanaan, diluar common law, civil law, anglo saxon maupun continental - kita sudah kaya dan ada bentuk yang dapat kita adaptasi didalam diri kita sendiri, ada banyak kebijakan yang bisa diadopsi.
Indonesia Adalah Laboratorium Hukum
Kenapa kita mencari keluar? Kenapa perbandingannya hanya dibatasi pada hukum dan lembaga negara?
Kenapa tidak ada perbandingan hukum dan kebijakan yang hidup dalam naungan adat dengan perilaku hukum internasional?
Kalo alasannya hukum adat itu belum setua hukum Romawi lalu kenapa kita sebut sebagai produk kolonial dan malah merombak hukum jadi baru?
Budaya negara mana dan pola pikir yang bagaimana yang menjadi pijakan pembaruan hukum kita itu?
Kenapa landraad (pengadilan) di masa kolonial berlangsung di kantor dan sekaligus kediaman regent (bupati)? Sebab, pengadilan kala itu tidak sering terjadi dan tidak diadakan setiap hari, maka biasanya diadakan di kantor regent (bupati).
UU Hukum Belanda di pengadilan disesuaikan dengan hukum adat yang berkaitan dengan hukum Islam. Karenanya, pengadilan yang terdakwanya warga pribumi harus didampingi oleh seorang kadi yang menguasai hukum fiqih (agama Islam).
Pengadilan di masa kolonial tidak mengenal diskriminasi. Warga Belanda yang diadili juga harus duduk di ubin, tidak peduli pangkat dan jabatannya. Termasuk seorang residen, jabatan semacam bupati sekarang ini yang diisi warga Belanda.
Apabila si tertuduh menyangkal atas perbuatannya yang dituduhkannya, maka sang kadi akan bertanya, "Apa kamu berani sumpah akan dikutuk Allah bila berdusta?" Biasanya si terdakwa tidak berani berbohong.
Tidak seperti sekarang para pejabat yang disumpah dengan kitab suci Alquran untuk tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, korupsinya tidak kepalang tanggung. Mereka tidak pernah puas menilep duit rakyat. Untuk menyangkal perbuatannya, mereka berani bersumpah atas nama Allah.
Dengan segala keragaman dalam konteks adab, budaya, tata-krama, sipan santun dan etika maka justeru sebenarnya kitalah yang patut dipelajari, layak menjadi acuan banyak kebijakan.
Kenapa justeru minim sekalai para intelekrual atau pelajar kita yang menggali didalam Indinesia sendiri?
Bantak sekali yang berpandangan bahwa budaya dan tradisi itu tidak mengikuti perkembangan jaman, ketinggalan dan tidak update yang oleh karenanya tidak bisa dijadikan acuan.
Betapa naifnya kita ini yang sebenarnya mengetahui bahwa norma tersebut adalah hukum positif yang hidup dalam sesuatu masyarakat, yang apabila terjadi perkembangan maka norma juga akan mengikutinya secara fleksibel.
Kekuatan aturan yang penuh dengan karakter dan tidak meninggalkan pakem, dan pakem inilah yang menjadi momok bagi masyarakat modern, tidak ungin dikekang padahal ironisnya justeru yang akan dibangun adalah desain/konsep hukum yang harus membatasi, mengekang.
Entah konsepsi apa tang ingin diberikan dengan dasar pemikiran "membentuk aturan tapi terap bebas", naif sekali - childish dan sangat tidak bijak.
Celah Bagi Penguasa/Pejabat
Independensi hakim pada Hoge Raad dimaknai sebagai independensi institusional, bukan individual. Oleh karena itu, setiap hakim wajib mentaati keputusan rapat pleno karena keputusan tersebut melambangkan keputusan dari Hoge Raad. Independensi ini bebas atau merdeka dari intervensi lembaga lain apakah itu eksekutif maupun legislatif.
Mekanisme pemberian opini hukum (advices) yang diberikan oleh tenaga ahli sebelum perkara dibaca oleh hakim, dalam proses memeriksa dan memutus, majelis hakim Hoge Raad dibantu oleh sekelompok ahli yang dikoordinasikan oleh Advocaat General pada Hoge Raad.
Di Belanda ada parket yang terdiri dari advocaten generaal dan procureur general. Mereka ini melakukan telaah dan kajian terhadap perkara yang masuk ke Hoge Raad lalu memberikannya kepada hakim agung sebagai pertimbangan atau masukan.
Opini hukum Parket didasarkan kepada kajian terhadap fakta yang harus dipakai oleh Hoge Raad dalam mengambil keputusannya, pertanyaan hukum yang harus dijawab oleh Hoge Raad, putusan yang dimintakan banding, pendapat akademis dan preseden-preseden yang ada. Selain itu Parket juga memberikan pilihan tentang solusi hukumnya. Meskipun Hoge Raad tidak terikat kepada pendapat Parket.
Kelompok yang disebut dengan istilah Parket ini bertugas untuk memberikan nasihat kepada Hoge Raad dan independen terhadap pemerintah, parlemen, maupun partai politik.
Apakah ini yang dikhawatirkan oleh manusia politik, bahwa apabila Hukum Pidana kita mengacu kepada karakter Hukum dan Penegakkan di Belanda maka jalan intervensi dan intimidasi bakal tertutup atau memperkecil celah kompromi?
Referensi dan sumber:
- hukumonline
- LeIP
- media elektronik hukum di internet
- catatan pribadi