Disertasi Abdul Aziz, mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, berjudul 'Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital' menjadi kontroversi dan bahan pemberitaan sejumlah media beberapa hari terakhir. [1]
Beberapa media membuat berita dengan judul, di antaranya, "Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga: Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariat", "Seks di Luar Nikah Tak Langgar Syariat Jadi Isi Disertasi Mahasiswa UIN". [1]
Pokok Desertasi
Desertasi ini sebetulnya cuma mengkaji 1 (satu) istilah aja, yaitu istilah "Milk Al-Yamin" yang ditafsirkan oleh para ulama sebagai "budak".
Namun, istilah ini dipahami pentafsir sebagai "setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual."
Kalimat "setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual" juga sebetulnya punya bias kesetaraan jender, dimana (umumnya) nempatkan "perempuan sebagai objek kesenangan atau buang hajat syahwat".
Hal itu sebenarnya secara tidak sadar diakui sendiri oleh mahasiswa doktoral tersebut yaitu, "Aziz mengatakan, ulama seperti Imam asy Syafii dan Imam at Tabari memahami Milk Al Yamin sebagai hubungan seksual nonmarital dengan budak perempuan melalui akad milik" [2] - dia mengatakan bahwa ini tentang hak kepemilikan, tentang objek kebendaan.
Lebih jauh lagi, mahasiswa doktoral tersebut berargumen akan keprihatinannya terhadap hukum agama seperti dikutip, "menurutnya, semua itu berawal dari hukum agama yang hanya melegalkan hubungan seksual marital, dan hubungan seksual tanpa pernikahan dianggap kejahatan. Negara kemudian mengadopsi nilai-nilai itu dan memasukkannya ke dalam hukum nasional." [3] - adalah hal yang berbahaya bila kita bersikap prihatin dan meragukan kebenaran (bukan sekedar kebaikan) hukum agama.
Dalam konteks ini banyak profesi (catatan: banyak profesi, bukan banyak orang yang berprofesi) yang diasosiasikan dengan kalimat "setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual" seperti pekerja seks komersial, ladies companion, ladies escort, dlsb.
Penipuan kesadaran
Dalam ilmu bahasa dikenal ada istilah “Eufimisme” atau yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “penghalusan bahasa”, dalam pergaulan keseharian kita lebih suka menggunakan istilah “Kamar Kecil” untuk menyebut tempat membuang hajat, dan sebagainya.
Penghalusan kata adalah penipuan kesadaran manusia, di Jawa kita kenal juga istilah "selimur" (mengalihkan) yang biasa dilakukan untuk mengatasi perilaku rewel anak kecil.
Saya rasa, ini sekedar penghalusan kata saja, bukan kajian yang penting, tapi harus diakui akan sangat berpengaruh terhadap budaya.
Perhatikan, desertasi itu cuma mempermasalahkan 1 (satu) istilah saja yaitu tafsir frasa milk al-yamin (budak), bukan tentang kebebasan hubungan seks.
Peran media pers
Peran, wawasan dan integritas media pers dalam pemilihan judul dan kalimat juga penting disini karena konteks seksual non-marital ini sering dibahas melalui konsep nikah kontrak, bedanya nikah kontrak berada dalam kedudukan bebas yang sama antara pria-wanita sedangkan konsep Syahrur salah satu subjek merupakan profesi atau sejenisnya.
Naif-nya, mahasiswa program doktoral tersebut menyebut konsep pentafsir ini sebagai teori baru, padahal hal tersebut sudah ada sejak dulu, tentang bagaimana orang berusaha keluar dari pembatasan dengan menemukan argumentasi yang mendukung.
Pentafsir mengkontekstualkan konsep Milk Al-Yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni, nikah al-mut'ah, nikah al-muhallil, nikah al-irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah atau samen leven. [4]
Tetap tidak keluar dari paradigma dan konteks selir dan gundik.
Argumentasi mahasiswa doktoral tersebut adalah pertama, dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan intim nonmarital konsensual, kedua, stigma buruk seperti penggerebekan dan penangkapan sewenang-wenang di ruang-ruang privat dan hukum rajam, dan ketiga karena HAM (hak asasi manusia).
Dan ironisnya UIN Sunan Kalijaga memastikan, di luar temanya yang kontroversial, secara akademik Abdul Azis telah menjalani program doktoralnya dengan baik. Kampus menghargai dan memberikan penilaian yang objektif. Menurut Rektor UIN, secara akademik, penelitian yang dilakukan itu sah meski diberikan beberapa catatan dan harus direvisi.
Tapi - ada saatnya nanti bakal meluas, melebar dan memanjang urusannya, ekstensif.
Beberapa kritik kesalahan menurut penulis
Menurut penulis ada beberapa kekeliruan cara pandang dari pentafsir dan mahasiswa doktoral tersebut, yaitu:
1. “Masih adanya pengaruh konsep-konsep keluarga secara tradisional dari pemikiran ulama klasik,” kata Abdul Aziz. [5] dalam hal ini kita sama sekali bukan membicarakan konsep keluarga melainkan konsep objek dan tujuan seks.
2. Kritik penulis adalah bahwa pentafsir dan mahasiswa doktoral tersebut hendaknya tidak menempatkan pandangan serta kesimpulan pada konteks luasnya teknis perkawinan, akan tetapi berkembangnya kontekstualisasi perbudakan seks.
3. Hukum agama memang, keras akan tetapi bukan berarti kita merasa dapat menghapus atau mengecualikan "hukum"-nya sesuai perubahan budaya manusia melainkan justeru penerapan "hukuman"-nyalah yang mesti dikendalikan.
Mungkin akhirnya semua diserahkan kepada kita, bagaimana cara kita memandang apakah ingin keluar dari jerat pembatasan kebebasan seks atau keluar dari dampak buruk pemakluman seks bebas.
Kutipan dari artikel
[1] https://amp.tirto.id/duduk-perkara-kontroversi-disertasi-hubungan-seks-nonnikah-uin-suka-ehnF
[2] https://jogja.idntimes.com/news/jogja/amp/tunggul-damarjati/seks-tanpa-nikah-halal-uin-sunan-kalijaga-banyak-yang-salah-tafsir
[3] https://www.voaindonesia.com/amp/kontroversi-disertasi-hubungan-seks-tanpa-nikah-halal-bersyarat/5064985.html
[4] https://jogja.suara.com/amp/read/2019/08/30/134117/rektor-uin-jogja-cibir-disertasi-seks-sebelum-nikah-tak-langgar-syariat
[5] https://nasional.tempo.co/amp/1242323/disertasi-hubungan-intim-tanpa-nikah-uin-beri-nilai-sangat-bagus