Gugatan PHPU Prabowo-Sandi diregistrasi, dan tercatat di Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dengan nomor perkara 01/PHPU-PRES/XVII/2019, gugatan terhadap Keputusan KPU No. 987/PL/01/08-KTP/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Kabuapten/Kota dan Provinsi secara Nasional Pemilu 2019.
Kekhususan sidang MK adalah "hukum acara MK menganut teori pembuktian bebas karena baik luas maupun beban pembuktian diserahkan pada hakim konstitusi". Sistem ini mempersilakan hakim untuk dapat menggunakan alat bukti lain di luar ketentuan perundang-undangan.
Teori pembuktian yang bebas (conviction raisonee) atau vrije bewijsleer adalah merupakan ajaran/sistem pembuktian yang menghendaki agar hakim dalam menentukan keyakinannya secara bebas tanpa dibatasi oleh undang-undang, akan tetapi hakim wajib mempertanggungjawabkan cara bagaimana hakim tersebut memperoleh keyakinan dan selanjutnya hakim wajib menguraikan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya yakni semata-mata dengan keyakinan atas dasar ilmu pengetahuan dan logika serta hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam PHPU Presiden dan Wapres, Pasal 1 ayat (23) jo. Pasal 36 huruf f jo. Pasal 43 mengenai "alat bukti lain yang disimpan secara elektronik".
Pasal 37 ayat (3) jelas menyebutkan bahwa "yang perolehannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum hanyalah 'alat bukti surat dan tulisan'", tapi tidak demikian dengan "alat bukti lain", ini kekhususan dan kebebasan selama dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Ada pendapat berdasarkan apa yang disimak melalui siaran langsung sidang permulaan di MK mengenai tidak adanya bukti fisik dari apa yang dicantumkan, namun hal ini secara normatif bisa jadi disesuaikan dengan alas Pasal 34 ayat (2) huruf h, Pasal 43 dan Pasal 44 PMK No. 4/2018.
Mengenai kepentingan saksi dan keterangan pihak lain untuk sempurnanya pembuktian maka YM Majelis Hakim punya kewenangan berdasarkan Pasal 39 ayat (3) dan Pasal 42 bilamana dirasakan keperluannya untuk memperjelas.
Pendapat Prof. Yusril mengenai TSM ada di wilayah Bawaslu (bisa jadi) kurang mengena karena Pasal 13, Pasal 24 dan Pasal 32 ayat (1) PMK 4/2018 juga disebut secara khusus mengenai keterangan Bawaslu sebagai Pengawas, ada keharusan dari Bawaslu untuk hadir dalam sengketa tersebut.
PMK bisa jadi mempunyai limitasi sendiri tapi kenyataannya klausul yang ada mengisyaratkan/mengindikasikan sifat keterbukaan, dan kekhususan lainnya adalah Hakim dapat mempertimbangkan bukti lain diluar yang diatur oleh UU.
Mengenai TSM, Putusan No. 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil Pemilukada Jawa Timur 2008 bahwa untuk mencapai demokrasi substansial maka MK tidak dapat dibelenggu oleh penafsiran sempit terhadap peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan masif dapat menjadi pertimbangan dalam memutus perselisihan hasil pemilu.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah terkait dengan bentuk pelanggaran yang dapat membatalkan hasil Pemilukada, “Mahkamah membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori. Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini Mahkamah tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN. Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam banyak putusan Mahkamah.
Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh Mahkamah untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal” [Putusan Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010 Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 2010]
Tentang TSM dapat diperhatikan konsiderans Mahkamah dalam Putusan Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010 tentang Pemilukada Kabupaten Pandeglang, “Bahwa berdasar pandangan dan paradigma yang dianut tersebut maka Mahkamah menegaskan bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh Mahkamah untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para pelakunya. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran yang terbukti menurut Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan dijadikan dasar putusan pembatalan oleh Mahkamah tetap dapat diambil langkah hukum lebih lanjut untuk diadili oleh lembaga peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara sebab Mahkamah tidak pernah memutus dalam konteks pidana atau administratif...”
Satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus nemo commodum capere potest de injuria sua propria) dan prinsip ini juga berlaku dalam mengadili perkara Pemilukada.
Kita bisa simak pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutus sengketa Pemilukada Provinsi Jawa Timur, “Karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena fakta-fakta hukum sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.20] sampai dengan paragraf [3.24] telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945”.
Pembatalan hasil Pemilukada tersebut diikuti dengan perintah untuk melakukan penghitungan dan atau pemungutan suara ulang jika terbukti ada pelanggaran yang bersifat TSM. Bahkan juga perintah untuk mendiskualifikasi pasangan calon.
Demikian juga materi kualitatif juga dikemukakan secara afirmatif oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono dalam sesi jumpa pers di kantor MK, Kamis (23/5/2019).
"Bukti yang kemudian bisa menguatkan dalil pemohon," jelasnya.
"Misalnya, kalau terjadi kecurangan itu di mana saja kan begitu, di daerah mana saja, di TPS mana saja oleh siapa."
Bahkan Prof. Mahfud MD menyebut tim hukum Prabowo cukup cerdik karena bisa mengarahkan sidang agar memeriksa kecurangan kualitatif.
"Tim Hukum Pemohon cukup cerdik memfait-accompli dan mengarahkan sidang agar memeriksa kecurangan (kualitatif). Mereka mengutip Yusril, Jimly, Saldi, Arief, saya, dan lain-lain yang mengatakan bahwa MK berwenang memeriksa kecurangan dalam proses pemilu demi mengawal konstitusi dan keadilan substantif," tulis Prof. Mahfud MD.
Tambahnya, hal tersebut memang tak terelakkan. Oleh karena memang harus diakui dan perlu diketahui sejak November 2008, MK sudah mendeklarasikan diri mereka bukanlah 'Mahkamah Kalkulator'.
"Bahwa MK berwenang memeriksa kualitas proses dan kecurangan itu sudah bagian dari hukum peradilan kita sampai dengan saat ini. Yang harus kita tunggu adalah bagaimana membuktikan curang TSM itu," lewat akun twitter, @mohmahfudmd
Inilah yang disebut oleh Prof Luthfi Yazid sebagai "substantial justice", dan oleh Prof. Denny Indrayana sebagai sesuatu yang tidak bisa diatasi secara efektif dengan asas-asas umum, sebagaimana diadopsi dari beberapa pendapatnya yang secara implisit (kesimpulan penulis, karena dalam konteks aselinya Prof. Denny menyatakannya secara khusus (tapi tidak limitatif) dalam permasalahan Korupsi) menerangkan "dari sesuatu yang umum 'by need' kepada sesuatu yang khusus 'by greed'".
Lalu apakah dengan demikian perbaikan permohonan punya dasar hukum? Atau bisa? Karena banyak sekali pendapat bahwa hal tersebut tidak memiliki dasar hukum, bahkan melanggar.
Tidak, tidak ada Pasal yang jelas mengatur larangan perbaikan, pun tidak ada klausul yang secara eksplisit menyebutkan perbaikan terhadap permohonan, maka jelas tidak ada yang dilanggar pun dilawan - tapi memang tidak ada norma yang jelas secara eksplisit.
UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK memberikan celah argumentatif mengenai perbaikan permohonan pada Pasal 39 ayat (2), karena perbaikan adalah bagian dari administrasi perkara secara umum.
Berikutnya, Pasal 31 ayat (2) PMK No. 4 Tahun 2018 menguraikan pemeriksaan permulaan terhadap kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Secara administratif perbaikan yang dilakukan oleh tim Pengacara BPN dianggap/diterima sebagai lampiran oleh Mahkamah Konstitusi, namun jelas mestilah ada pro-kontra tentang hal tersebut yang mana tim Pengacara TKN keberatan akan hal tersebut.
Bahkan Prof. Yusril berpendapat bahwa hal tersebut terjadi karena tidak adanya hukum, atau kekosongan hukum. “Kami menghormati. Itu lah keputusan majelis hakim,” tuturnya.
Secara teoritis MK sebagai lembaga adalah sebuah Mahkamah, tapi dalam persidangannya para Majelis Hakim sekaligus dapat berlaku sebagai Dewan Konstitusi.
Peran ini seperti Council of Grand justices di Taiwan yang melakukan tafsir makna atas kaidah-kaidah konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi Hungaria yang dapat melakukan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi melalui pendapat hukum serta banyak institusi sejenis lainnya.
Meski bukan peran dan fungsi yang asing namun dimanapun negara masih belum ada rumusan yang sama mengenai Dewan Konstitusi (Constitutional Council), bahkan Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) akan tetapi bisa tampak kewenangan sejenis dalam peran dan fungsi Hakim Konstitusi, yang bertindak sebagai negative regulator dan penafsir norma, berdasarkan hukum atau aturan atau kebutuhan yang tumbuh di masyarakat (the living law) - jadi tidak berhenti di klausula resultan (produk legislatif) formal tapi juga menjabarkan suatu konvensi (produk tata kehidupan masyarakat) - yang tertulis dan yang tidak tertulis.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ketika menjadi pembicara dalam kuliah umum yang berjudul “Mengawal Pemilihan Umum Serentak 2019 dalam Bingkai Konstitusi Bernegara" pada Jum’at (18/1/2019) di Universitas Sriwijaya, Palembang mengatakan bahawa putusan-putusan MKRI menjadi rujukan bagi mahkamah konstitusi negara lain dan institusi sejenis di dunia, mengenai kewenangan MK berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MK diberikan kewenangan utk melengkapi ataupun mengisi kekosongan hukum acara itu sendiri, dan MK tidak dibatasi oleh suatu aturan secara ketat dan limitatif, meskipun ada batasan (limit) tapi hal tersebut menjadi sebuah kerangka acuan saja yang batasnya tidak berhenti pada norma melainkan logika dan ilmu pengetahuan, bila tidak logis dan tidak ada teorinya itulah daerah larangnya.
Bagaimanapun juga, ada 2 hal yang patut kita tunggu, yaitu yang pertama (akankah ada?) keterangan dari pihak Bawaslu, yang kedua adalah pada saatnya nanti hasil dari Rapat Permusyawaratan Hakim.
(tulisan ini hanyalah sekedar pendapat atau pandangan berdasarkan norma, doktrin, teori dan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan secara pribadi yang tidak berhubungan dan berpretensi mendukung suatu kubu tertentu)