“KUHP terjemahan Indonesia dan terjemahan otentik dari KUHP Belanda berbeda. Disitu kata ‘Aanslag’ dalam pasal-pasal yang diuji diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut ‘makar’, padahal artinya ‘serangan’,” ujar Peneliti ICJR, Erasmus TA Napitupulu usai mendaftarkan pengujian pasal-pasal makar dalam KUHP di Gedung MK, Jumat (16/12).
Secara etimologis, kata 'makar’ dalam Bahasa Arab yang bermakna خدع (tipu muslihat / tipu daya). Dalam istilah Islam, makar ialah suatu tipudaya yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu untuk menghancurkan kebenaran.
Dalam istilah hukum, makar tidak didefinisikan dengan tegas dalam KUHP. Penjelasan-penjelasan makar merupakan istilah yang dipakai oleh akademisi hukum untuk menterjemahkan aanslag (bahasa Belanda). Kata aanslag diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack.
Tindak pidana makar masuk Bab tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Pasal-pasalnya antara lain:
Pasal 87
Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Pasl 104
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 106
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 107
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebbut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun
Pasal 139a
Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Pasal 139b
Makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Aanslag atau makar mempunyai arti yaitu serangan langsuna secara fisik terhadap pemerintahan yang berkuasa, makar tidak bisa dikenai apabila ternyata faktanya hanya berupa ancaman atau penggalangan masa - pasal makar tidak termasuk pidana formil melainkan materiil, sehingga apabila masih dalam wilayah ancaman atau yang dianggap mengancam serta berpotensi "menimbulkan" makar maka hendaknya terkatagori dalam "hate speech".
Di Indonesia, makar kerap ditemui. Seperti di Kesultanan Demak oleh Aria Penangsang pada 1549 dan Pemberontakan Kuti terhadap Kerajaan Majapahit masa pemerintahan Raja Jayanegara pada 1319.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tercatat dalam sejarah pelaku makar pertama kali ialah Daniel Maukar yang dengan mengendarai pesawat tempur sendiri menyerang Istana Negara. Untunglah pada saat itu Presiden Soekarno tidak sedang berada di dalam istana. Daniel Maukar diadili atas tindakan makar terhadap negara dan juga presiden. Dia dijatuhi hukuman mati meski pada akhirnya diampuni dan hanya menjalani sekitar delapan tahun masa pemidanaan.
Pasal 87 KUHP terjemahan Indonesia disebutkan “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti disebut Pasal 53 KUHP.”
Pasal 104 KUHP disebutkan “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah diancam pidana mati atau seumur hidup, atau pidana paling lama 20 tahun.”
Sedangkan Pasal 107 ayat (1) KUHP disebutkan “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah diancam pidana penjara paling lama 15 tahun."
Menurut PAF Lamintang, aanslag hanya tepat diartikan sebagai aanval (serangan) atau sebagai misadadige aanranding(penyerangan dengan maksud tidak baik). Untuk itu, menerjemahkan kata aanslag dengan menjadi makar yang berarti tipu daya, telah mengaburkan makna mendasar dari aanslag yang berarti serangan.
MK pun berpendapat percobaan makar - tanpa perlu tujuan makar tercapai yaitu pemerintah yang terguling - pun sudah bisa dikenai delik, MK tidak mengatakan secara eksplisit bahwa perencanaan ataupun persiapan sudah dianggap delik, tapi bahkan secara implisit dimaksud "ada delik tapi pemerintah tidak terguling", MK tidak berbicara tentang kemungkinan dan potensi.
Perlu kiranya melihat dari sudut pandang yang berbeda, konteks yang melingkupi perkara bang Eggy bukanlah penggulingan pemerintahan yang sah, akan tetapi lebih kepada ketidakpercayaan atas proses dan hasil penghitungan suara dalam pemilu.
Apa yang tampak dalam kasus bang Eggy adalah ketidaksukaan atau boleh jadi kebencian dalam konteks politik, dan bukan terhadap presiden atau wakil secara langsung ataupun terhadap pemerintahan yang sah.
Niat untuk makar telah gugur dalam fakta yang mana bang Eggy bersikap dalam suasana euphoria politik atau ketika pemilu sedang berlangsung, secara psikis yang dominan disini adalah kecenderung akan "ketidakpercayaan" bukan "rencana penggulingan kekuasaan".
Konteksnya adalah sama, yaitu bang Eggy menyerukan pergerakkan ketika hasil penghitungan suara berdasarkan proses pemilu yang tidak transparan sehingga "berpotensi" memproduksi keputusan KPU yang menurut sebagian kelompok tidak betul adanya, dan ini dibutuhkan pembuktian sebelumnya.
Aparat penegak hukum juga hendaknya bersikap fair ketika ada sebagian kelompok masyarakat yang menduga ada kecurangan maka harus diteliti kebenarannya, yang apabila tidak maka jelas mensiratkan keadaan yang paranoid dan Kepolisian telah tidak bersikap netral dan objektif.
Argumentasinya, bagaimana bila ternyata proses pemilu benar-benar terdapat kecurangan? apakah bang Eggy salah dan pantas disebut makar?
Setiap sendi hanya berisikan "potensi", potensi makar dan potensi kecurangan.
Kalau pun ada kalimat yang secara verbal menyatakan "...'akan' menjatuhkan pemerintahan..." maka bukankah itu berarti konteksnya "pemerintahan yang akan datang"? Pemerintahan siapa dan yang mana? Apakah sudah selesai penghitungan suaranya sehingga aparat penegak hukum sudah tau hasilnya dan dapat langsung menilai bahwa bang Eggy makar?
Perhatikan frasa, "...tidak harus nunggu 25 Oktober...", dan itu bukti pertama bahwa (mungkin) akan ada people power, mungkin, potensi bukan kemestian, bukan sedang atau sudah makar.
Dalam keyakinan bang Eggy, makar itu merupakan tipudaya yang dilakukan menghancurkan kebenaran - sedangkan acontrario, justeru bang Eggy ingin menyampaikan kebenaran sejauh yang diketahuinya.
Karena itulah objeknya ada 2, bukan presiden dan wapres akan tetapi KPU dan kelompok berpengaruh yang (diduga) curang.
Aparat penegak hukum juga harus mempertimbangkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memutuskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar tata cara dalam input data Situng Pemilu 2019. Hal itu disampaikan Ketua Majelis Hakim Abhan saat membacakan putusun sidang pelanggaran Situng di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2019) pagi dengan putusannya, "Mengadili, satu, menyatakan KPU terbukti secara sah melanggar tata cara dan prosedur dalam input data Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng".
Putusan tersebut adalah hasil sidang ajudikasi berdasarkan laporan dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi yang melaporkan KPU ke Bawaslu dalam dua kasus, yaitu dugaan pelanggaran Situng dan dugaan pelanggaran hasil hitung cepat dengan nomor registrasi 008/LP/PP/ADM/RI/00.00/V/2019.
"Bahwa meskipun demikian KPU dalam menggunakan aplikasi Situng ini harus tetap memperhatikan ketelitian, akurasi dalam memasukkan data ke dalam aplikasi sistem sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat," tutur Komisioner Bawaslu Dewi Ratna.
Maka, yang terpenting sebetulnya bukan masalah perilakunya, karena jelas punya alasan, argumentasi dan silogisme sendiri - melainkan aparat penegak hukum harus mengawal proses pemilu dan penghitungan suara yang benar dan fair karena telah muncul polemik, dan perilaku bang Eggy adalah dipicu oleh keadaan tersebut - inilah intinya.
Akhirnya, masalah seperti ini harusnya berakhir dengan hanya sebatas dugaan, sama seperti pemicunya yang sama berada dalam konteks "potensi" curang dan makar belaka - bedanya, justeru polemik yang muncul dari kelalaian KPU-lah yang memicu kelompok garis keras menjadi punya alasan kuat.
Hendaknya kepolisian mampu netral, objektif dan komprehensif.
Kalaupun ada kekhawatiran maka cukup amankan saja subjeknya dalam pengawasan dengan tidak banyak mengurangi kebebasannya berpendapat dan berkumpul, ketimbang pada faktanya berbuat sebagaimana UU Subversi yang sekedar dilekati label fair trial.
Bilamana tidak ada aturan main untuk itu maka itu justeru lebih baik, buatlah kebijakan ketimbang harus menerapkan hukum dengan keliru tapi penuh percaya diri.
Jaga adab berpendapat, pun jangan anggap makar mesti hidup dari potensi belaka tanpa lingkungan yang mendukung berkembangnya.