I. KOMITMEN YANG TERKABUL
Tuhan sudah mengarahkan lidah bang Tjoetjoe pada 2014 lalu, tidak ada sumpah, tidak ada janji, yang keluar dari lisannya adalah kata 'komitmen'.
Kata komitmen berasal dari bahasa Latin, yaitu 'commiter' yang berarti menyatukan, mengerjakan, menggabungkan, dan mempercayai.
Sehingga menurut asal katanya, arti komitmen adalah suatu sikap setia dan tanggungjawab seseorang.
Dengan komitmen, beliau (bang Tjoetjoe) bersikap setia dan tanggungjawab terhadap Kongres Advokat Indonesia, menyatukan banyak perbedaan, mengerjakan apa yang harus dikerjakan, menggabungkan banyak idea positif, mempercayai tujuan rekan sejawat yang memilihnya kembali dan dengan izin dari kelurga (yang harus beliau dapatkan) maka kembali dia bersedia memimpin KAI yang dicintainya atas kesepakatan keluarga besar KAI, dan restu dari keluarganya - inilah resultante.
Demikianlah Tuhan mengarahkan lisannya untuk tidak mengatakan sumpah ataupun janji, tapi jelas 'komitmen' - dalam konteks ini, komitmen bukanlah padanan kata dari sumpah ataupun janji tapi justeru keterikatan dengan peristiwa di masa depan - dengan setia dan tanggungjawab menyatukan, mengerjakan, menggabungkan dan mempercayai keputusan Kongres Nasional III KAI di Surabaya sebagai Presiden KAI periode 2019-2024.
Tuhan yang mengarahkan lisannya dimasa lalu, maka Tuhan juga yang mengabulkannya saat ini melalui Kongres Nasional ke-3, Kongres Advokat Indonesia di Empire Palace, Surabaya, 26-27 April 2019 yang dihadiri oleh 24 Dewan Pimpinan Daerah KAI dengan 600-an Advokatnya sebagai peserta dari Sabang sampai Merauke.
Perhelatan Kongres Nasional ke-3 KAI tersebut juga mengagendakan suatu perubahan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang mengarah kepada kemapanan Organisasi Advokat secara profesional agar tidak tenggelam dalam kekacauan dan kerancuan Trias Politica.
Mandiri dan bebas sebagaimana amanat daripada Kehakiman yang tertuang dalam rumusan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada konsiderans Menimbang huruf b, yang berbunyi "bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campurtangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia".
Kongres tersebut juga sekaligus sebagai jawaban atas tudingan dan anggapan dengan dalil bahwa Kongres Advokat Indonesia hanya membuat suatu dramaturgi tentang hegemoni kekuasaan, dan itu adalah pendapat yang menyesatkan dalam bungkus tafsir klausula yang tidak objektif, mengada-ada dan sempit.
Fakta bahwa Kongres tersebut merupakan ajang dimana Advokat harus mempertahankan legitimasinya dalam dunia hukum, masyarakat dan peradilan yang jauh mengalami pergeseran sejak akhir abad ke-18, jauh dari marwah, peran, fungsi dan makna Advokat yang sebenarnya.
II. MENGEMBALIKAN ADVOKAT
Sedemikian banyak kaki-tangan kekuasaan mencoba menjatuhkan Advokat dan menggunakannya sebagai pion, bidak catur dalam arena politik, dan menempatkannya sebagai kaki tangan yang terkendali.
Dengan demikian maka terdapat urgensi bahwa perubahan AD/ART tersebut harus menjadi titik tolak para Advokat (terutama KAI) untuk dapat berorganisasi serta menjalankan profesinya dalam suatu Organisasi Advokat yang kredibel beserta anggaran yang keluar dari kotak pandora atau teror kelengahan Advokat dalam berorganisasi secara matang, mapan, penuh martabat dan bermoral.
Suatu awal dalam memahami banyak perbedaan antara Advokat dengan pengacara, pokrol, proceurer, prosecutor, sarjana hukum, zaakwaarnemers, oplichter dan sejenisnya.
Dalam tujuan tersebut juga kiranya perlu ada upaya pelurusan kembali atas istilah Advokat dengan mensosialisasikan sejarah yang benar agar tidak terjadi disparitas pengetahuan Advokat dalam bekerja, yang selama ini dipersamakan dengan sekedar lahan bisnis dan profitabilitas belaka.
(doc. Presidium sidang Kongres Nasional ke-3, Kongres Advokat Indonesia di Surabaya)
(doc. Presidium sidang Kongres Nasional ke-3, Kongres Advokat Indonesia di Surabaya)
Sejarah mencatat bahwa Meester in de Rechten dalam fungsi dan perannya sebagai Profesional Hukum adalah "Advocaat en Procureurs' - inilah 2 (dua) kewenangan kita yang sebenarnya.
Organisasi Advokat bukanlah state auxiliary body (penunjang) akan tetapi autonomous non-governmental organ dengan self-regulated body.
Selamat buat bang Tjoetjoe Sanjaya Hernanto selaku President bersama jajaran Vice President, Heru Notonegoro, Aldwin Rahardian, Denny Indrayana, Luthfi Yazid, Umar Husein, Henry Indraguna dan Marojahan Pheo Hutabarat.
Semoga impian Patronus dan Cicero dalam kebangsawanan Pleibeii dan Petrici bisa terekam dengan baik bersama harapan bang Adnan Buyung (alm.) dan pak Besar (alm.) dalam tubuh Kongres Advokat Indonesia secara khusus dan Advokat Indonesia umumnya.
III. REVOLUSI YANG BENAR
Tetamu undangan yang hadir diantaranya adalah Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Surabaya, serta utusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, wakil dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, wakil dari Pangdam V Brawijaya, dan pejabat dari provinsi Jawa Timur dalam acara pembukaan Kongres Nasional tersebut.
Akhir kata...
Ketika api revolusi bergelora, Bung Karno membuat suatu pernyataan yang sering dikutip. "Met de juristen kunnen wij geen revolutie maken", dengan pengacara kita tidak mungkin membuat revolusi. Kita tidak membutuhkan sarjana hukum yang rewel untuk menuntaskan revolusi.
Bukan pengacara atau pun sekedar sarjana hukum, bung Karno membutuhkan Advokat untuk hadir dalam Negara.
Salam, Officium Nobile.