Kalo boleh kami ambil analogi sejarah populer yang romantik sebagai alegori, maka ia adalah Titanic.
Dengan segala kontroversinya, kapal itu pecah dan para abk menyelamatkan para penumpang - ada yang karena hasud, imbalan dan ada juga yang benar-benar mendahuluka penumpang agar selamat.
Kapten kapal Edward John Smith tetap tinggal dalam kapal demi para abk dan para penumpangnya - beliau karam bersama kapalnya.
Tapi Tuhan berkehendak lain, jauh lebih banyak penumpang yang selamat, akhirnya ikut karam dan beku bersama sang Kapten.
Kapal sudah pecah jadi 2 bagian, begitu juga para penumpang, mereka banyak yang karam bersama Kapten dan kapal Titanic.
...dan dari sedikit mereka yang masih hidup pun pecah sesuai karakternya - ada yang hanya bercerita tentang perjuangannya untuk selamat, ada yang bercerita tentang bagaimana dirinya memperjuangkan hidup lainnya meski akhirnya mati, ada yang cuek nggak mau tau, ada yang diam trauma hidup dengan jiwa yang mati bersama sang Kapten.
Yang patut dipuji adalah mereka yang masih hidup dan dengan jujur menceritakan detail kejadian yang mampu mereka ingat agar tidak terulang dan pelajaran bagi para calon penumpang kapal yang lain - mereka ini yang menghidupkan lagi fakta perjuangan dan pengorbanan sang Kapten yang tidak pernah meninggalkan Kapalnya.
Laut sebetulnya biasa aja, ombak itu ada karena angin yang kencang.
Ada angin yang berhembus tidak kencang tapi nyebarkan issue yang nggak didasari dengan pemahaman tentang kemudi dan buritan yang baik.
Menurut saya, maka wajar kalo Kapten tenang karena angin tidak kencang - hanya saja bukit es itu tidak tampak didepan mata karena hari sudah dimalamkan.
Sang Kapten setia bersama kapal, abk dan para penumpangnya - didasar laut... kedua keping kapal itu damai - sementara para saksi sejarah yang masih hidup sudah tidak berada di kapal itu lagi.
Dalam hukum kita kenal conditio sine qua non, causaliteit adequate dan ante-factum-post.
Semua saling erat terkait rasanya.
Sedikit yang paham kalo fakta adalah kumpulan dari realita, yang secara umum dijadikan alas argumentasi sekedar serpihan realita - diambilnya potongan puzzle kecil dari sebingkai penuh fakta - cuma ambil remah realita yang diperbesar dengan ego mikroskopiknya.
Jadilah ironi itu diperbesar seolah jadi fakta yang berdiri tunggal.
Prinsip dan asas dalam hukum pasti punya nilai historis dan filosofis yang bisa disesuaikan secara sosiologis, tapi orang kebanyakan memilih beranomali, diterapkan dalam bungkus politisasi naif.
Tidak (atau malah tidak mau tau) berpikir aecara diametral.
...dan sepertinya langka sekali orang - terutama Advokat - yang bisa keluar dari lingkaran setan repetisi.
Seperti hidup dalam mitos, berpasrah dengan roda yang berputar... oke, tapi mestinya kita arahkan kemana roda itu harus berputar, dimana tujuannya - nggak semestinya cuma sekedar berputar begitu aja.
Secara nggak sadar sudah hidup dan menghidupkan mitos yang sebetulnya bisa dihentikan, ironis banget kalo hidup itu cuma berdasarkan isapan jempol (tentu nggak ada bedanya dengan anak kecil yang suka sekali menghisap jempol).
Tapi seperti kata bijak, "orang nggak berani nerima kenyataan karena takut khayalannya berakhir".
Dalam frasa milenial, "gak bisa move on"
Dan berdasarkan pengalaman bersejarah bersama pemimpin dan beberapa pejabat terbaik maka saya yakin bahwa KAI tidak tenggelam karena menabrak aturan.
Delusi karam itu muncul dalam kepala-kepala yang nggak menyadari kalo keinginan para pelaku sejarah tidak terumuskan dalam perubahan Anggaran - ada kealpaan redaksional yang mana nggak dibutuhkan penafsiran apapun untuk tau bahwa celah itu menganga lebar.
Kapal itu karam di kepala para lawan, tapi tidak dalam kenyataan dan masyarakat.