M. Muslich Ks
(Dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam UII Yogyakarta)
I. Pendahuluan
Profesi advokat dalam budaya Jawa disikapi sebagai bentuk perwujudan kesadaran jalma (manusia) akan tugas dan peranannya dalam mengaktualisasikan konsep darmaning gesang (tugas hidup), kesadaran bahwa hidup bagaikan cakra manggilingan (hidup bagaikan putaran roda berputar), tepa slira (sikap dan perlakuan seseorang terhadap orang lain) dan tuntutan manusia agar menjadi satria utama berbudi bawa laksana (selalu bertindak secara tegas dan bijaksana).
Profesi advokat juga disikapi sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri sebagai jalma pinilih (manusia yang dipilih) dengan diberikan keunggulan dan kemampuan hukum yang dikemas dalam panca kreti sebagai paradigma; yaitu trapsila (tindakan terhadap orang lain yang didasarkan pada etika dan moral) ukara (kata- katanya runtut, tegas) sastra (keindahan bahasa) dan susila (moral) yang tidak semua manusia memilikinya, serta profesi disikapi sebagai bentuk pengabdian kepada umat manusia.
Ngelmu itu, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara.
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen kabul, yen kabuka, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahya sekar srinata. (Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, pupuh Pangkur).
Maksudnya bahwa, ilmu pengetahuan itu hanya dapat dicapai dengan amal sesuai dengan apa yang diajarkan (ajaran ilmu dipraktekkan).
Ilmu atau amal harus disertai kemauan yang tulus dan kesungguhan hati di samping itu yang penting adalah keteguhan iman untuk menghadapi segala godaan dan menjauhkan sikap laku yang serba negatif.
Asal itu dilaksanakan dengan wajar serta tidak menyimpang dari hasrat yang tulus Insya Allah akan berhasil mencapai hakekat hidup dalam mengemban profesi.
II. Menuju Advokat Profesional dalam Spirit Budaya Jawa
Konsep dasar budaya Jawa dalam pergumulan fungsi dan peran manusia berpangkal pada sebuah kesadaran manusia terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa yang direfleksikan dalam bentuk sembah jiwa (lahir batin tunduk taat serta tawakal dalam berbakti kepada Allah SWT) dan sembah rasa (menyesuaikan rasa sendiri dengan rasa Ketuhanan).
Seseorang yang sudah memahami secara mendalam tentang kesadaran terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa akan membentuk kesadaran terhadap darmaning gesang (berbakti untuk kepentingan kehidupan) hidup tak lain adalah pengabdian.
Kang sekar pangkur winarna, lalabuhan kang kanggo wong urip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipunkadulu, miwah ta ing tatakrama, den kaesthi siyang ratri.
Duduga lawan prayoga, myang watara riringa away lili, iku paraabot satuhu, tan kena tiningala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku, angucap meneng anendra, duga-duga nora kari. (Serat Wulangreh, Pupuh Pangkur 1 dan 2)
Maksud pupuh Pangkur tersebut adalah orang hidup di dunia itu haruslah dapat membedakan dan mengetahui antara yang buruk dan yang baik serta harus mematuhi tatakrama, dalam hal ini ada beberapa hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah “deduga´ (mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak), prayoga (mempertimbangkan hal-hal yang baik terhadap segala sesuatu yang akan dikerjakan), watara (mengira-ira, memikir-mikir apa yang akan dikerjakan) dan reringa (berhati-hati sebab menghadapi segala sesuatu yang belum meyakinkan).
Orang hidup mulai bangun tidur, duduk, berdiri, berjalan, bercakap- cakap, diam, baik yang penting ataupun yang tidak penting, yang dilakukan setiap hari, siang ataupun malam, di kota ataupun di desa, semua makhluk yang bernapas, janganlah meninggalkan empat hal tersebut diatas, yaitu deduga, prayoga, watara, dan reringa, maka profesi advokat merupakan anugerah dan amanah dari Allah SWT untuk kepentingan umat manusia dalam mewujudkan nilai-nilai supremasi hukum di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
III. Sesanti Budaya Jawa menuju Advokat yang Profesional
A. Niat yang suci pandaming kalbu
Ketika seorang advokat menandatangani kontrak kerja pemberian jasa hukum harus didasarkan pada niat yang suci sebagai amal ibadah.
Apa yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi pada semat, drajat dan kramat (harta, pangkat dan kekuasaan). Ungkapan budaya Jawa yang mengatakan “wong jawa nggoning rasa, pada gulange ning kalbu ing sasmita amrih lantip, kuwono nahan hawa, kinemot mamoting driyo (orang Jawa itu tempatnya di perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi dengan jalan menahan hawa nafsu sehingga akal dapat menangkap maksud yang sebenarnya), memberikan spirit dalam kasus apa seorang advokat menerima kontrak pembelaan, siapa yang selayaknya harus diberikan pembelaan harus diletakkan pada idealisme profesi advokat.
Pandangan hidup dalam budaya Jawa yang mengerti etika, warisan nilai-nilai adiluhung nenek moyang, selalu peduli untuk kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, dengan dasar niat yang tulus dijadikan pedoman hidup memahami konsep dalam mengaktualisasikan doktrin advokat aja dumeh dan aji mumpung.
a. aja dumeh kuwasa, tumindake daksura lann daksia marang sapada pada (Janganlah mentang-mentang berkuasa, sehingga tindak tanduknya pongah, congkak serta sewenang-wenang terhadap sesamanya).
b. aja dumeh pinter, tumindake keblinger (Janganlah mentang-mentang pintar, lalu kebijaksanaannya menyimpang dari aturan-aturan yang seharusnya).
c. aja dumeh kuat lan gagah, tumindake sarwo gegabah (Janganlah mentang-mentang kuat dan gagah, lalu tindakannya selalu gegabah atau semaunya sendiri saja).
d. aja dumeh sugih, tumindake lali karo wong ringkih (Janganlah mentang- mentang kaya, lalu perbuatannya tidak mengingat mereka yang lemah ekonomi).
e. aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang (Janganlah mentang- mentang telah dapat mengalahkan lawan, lalu tindakannya sewenang-wenang terhadap yang dikalahkan. (Budiono Herusatoto, 2000).
Aja dumeh dalam budaya Jawa dapat dijadikan pedoman koreksi diri bagi orang yang mendapatkan anugerah dari Allah, suatu peringatan agar seseorang peduli dengan sesamanya.
a. mumpung kuat lan gagah, njur tanpa arah-arah. Artinya selagi kuat dan berkuasa, sehingga tindakannya gegabah dan tak terarah.
b. mumpung pinter, njur sembrono nerak wewaler. Artinya memanfaatkan kesempatan karena merasa pintar, sehingga tindakannya seenaknya sendiri, melanggar aturan dan norma-norma yang berlaku.
c. mumpung kuasa sapa ingsun. Artinya selagi berkuasa, sehingga tidak ingat lagi kepada teman dan saudara.
d. mumpung sugih, njur nyenyamah karo sing ringkih. Artinya memanfaatkan kesempatan karena kaya raya, sehingga bertindak angkara murka terhadap mereka yang melarat.
e. mumpung menang, njur nyawiyah hake liyan. Artinya memanfaatkan kesempatan selagi memperoleh kemenangan, lalu bertindak merampas dan menginjak-injak hak orang lain.
Aji mumpung dapat dijadikan pedoman profesi advokat dalam mengendalikan diri dari nafsu angkara murka.
Polah kang nora patut,
Nora pentes lamun sira turut,
Nora wurung rusak awake pribadi,
Mulane wong urip iku,
Sabarang dipun was paos.
Polah kang nora jujur,
Iku wajib lamun sira singkur,
Ungkarena away kongsi bisa kawijil,
Ujubena kang tuwajuh,
Kang wajib weuh Hyang Manon.
Artinya :
Tingkah yang tidak pantas, Tidak pantas kalau ditiru,
Akibatnya akan merusak pribadimu, Oleh karenanya orang hidup itu,
Segalanya harus dipertimbangkan lebih dahulu.
Watak yang tidak jujur, Wajib dihindari,
Hindarilah jangan sampai terpengaruh,
Buktikanlah dengan kesungguhan hati, Yang seharusnya diketahui Hyang Manon
B. Deduga, prayoga, watara, dan reringa
Ada pedoman dalam budaya Jawa bagi seseorang yang akan melaksanakan tugasnya.
Kang sekar pangkur winarna, lalaabuhan kang kanggo wong urip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipunkadulu, miwah ta ing tatakrrama, den kaesthi siyang ratri.
Duduga lawan prayoga, myang watara riringa away lili, iku parabot satuhu, tan kena tiningala, tangi lunggguh angadeg tuwin lumaku, angucap meneng anendra, duga-duga nora kari. (Serat Wulangreh, Pupuh Pangkur 1 dan 2)
Maksudnya adalah bahwa orang hidup di dunia itu haruslah dapat membedakan dan mengetahui antara yang buruk dan yang baik serta harus mematuhi tatakrama.
Dalam hal ini beberapa hal yang tidak boleh diabaikan adalah :
Deduga (mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak), prayoga (mempertimbangkan hal-hal yang baik terhadap segala sesuatu yang akan dikerjakan), watara (mengira-ira, memikir-mikir apa yang akan dikerjakan) dan reringa (berhati-hati sebab menghadapi segala sesuatu yang belum meyakinkan).
C. Rereh, ririh dan berhati-hati
Seorang advokat yang profesional akan selalu berusaha memberikan jasa yang terbaik dan memuaskan kliennya. Tindakan yuridis apa yang seharusnya dilakukan oleh advokat harus tepat, memberikan manfaat kepada kliennya dan dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan dan sesama manusia.
Untuk itu ada beberapa petunjuk dalam budaya Jawa:
Ing wong urip puniku, aja ngangggo ambeg lan tetela (adigang, adigung dan adiguna) nganggo rereh, ririh ngati ati den kawangwang barang laku den waskitha solahing wong (Wulangreh, Gambuh 9)
Bait Pupuh Gambuh tersebut menjelaskan bahwa orang hidup di dunia jangan menggunakan sikap adigang, adigung, adiguna (watak kesombongan) tetapi hendaknya orang hidup didunia itu dalam melaksanakan tugas didasari dengan tiga watak yaitu: rereh (sabar mengekang diri) ririh (tidak tergesa- gesa) dan berhati-hati, antara rasio dan perasaan berjalan dengan harmonis.
Jauhilan sikap dengki (iri hati karena melihat keberuntungan orang lain), srei (berkeinginan yang berlebihan), dora (pembohong), iren, dahwen, pawasten, open, kerningsun, jail (sifat buruk mengganggu orang lain).
Pepatah Jawa seperti sepi ing pamrih, rame ing gawe, jagad ora mung sak godong kelor, sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh, ngono ya ngono nanging ya mbok aja ngono, suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, sadumuk bathuk sanyari bumi, rawe-rawe rantas malang-malang putungg hulupis kuntul baris, dapat dijadikan inspirasi etos kerja profesi advokat dalam menjalankan fungsi dan peranannya untuk mewujudkan supremasi hukum.
D. Tri Winasis
Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV mengajarkan agar manusia menjaga martabat kehidupan di dunia. Manusia yang profesional harus memiliki tiga syarat : wirya (berani), arta (uang) dan tri winasis sebagai landasarn etos kerja.
Bonggan kang tan mrelokena, munggguh ungering ngaurip, uriipe lan tri prakara; wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas tilasing janma, aji godhong jati aking; temah papa papariman ngulandara.
Kecelakaan hidup kalau orang mengabaikan diri semata-mata untuk tujuan dan kepentingan hawa nafsu.
Potensi yang berupa :
a. Wirya, artinya: berusaha bekerja untuk mencapai kedudukan yang layak sesuai dengan kemampuan dan prestasi-prestasi yang membawa penghasilan sumber hidup (gaji, belanja, dan sebagainya).
b. Harta, artinya: berusaha mendapatkan modal uang yang halal dari sedikit demi sedikit, agar dapat berdagang, bertani atau bertukang, dan sebagainya.
c. Cendekia (winasis), artinya: berusaha mendapatkan pengetahuan (ketrampilan) baik kasar maupun halus, yang membawa sumber penghidupan harus diletakkan pada proporsinya.
Bilamana satu dari tiga hal tersebut tidak dilaksanakan dan atau dicapai, maka hidupnya di dunia ini tak ada gunanya, ibaratnya seperti: daun jati kering yang tak berharga, akhirnya jadi peminta-minta atau gelandangan.
Agar supaya menjadi manusia yang profesional, maka proses pengembangan wawasan keilmuan tidak boleh berhenti, belajar dan berguru harus berjalan terus.
E. Panca Pratama dan Panca Guna
Panca pratama artinya lima hal yang dianggap penting dan terbaik dalam budaya Jawa, untuk diperhatikan sebagai bingkai etos kerja yang profesional.
Panca guna adalah lima hal yang berfaedah untuk dilakukan agar mendapatkan nilai dan hasil yang diharapkan.
Advokat yang akan memberikan jasa bantuan hukum dapat menjadikan konsep panca pratama dan panca guna sebagai spirit pedoman dan landasan kerja untuk melengkapi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Panca pratama tersebut adalah :
a. Mulat (berhati-hati).
b. Amiluta (memelihara, memanjakan) memberikan penghargaan pada seseorang sesuai dengan pekerjaanya.
b. Panisuta (membujuk dan membelai) agar menyenangkan dan membangkitkan kecintaan.
c. Miladarma (menghendaki kebijakan) agar dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusaiaan.
d. Parimarama (belas kasihan) agar dalam kontek tertentu dapat memberikan maaf kepada orang lain yang seharusnya pantas untuk di maafkan. (R. Ng. Ranggawarsita)
Panca guna adalah lima hal yang berfaedah untuk lebih memberikan nilai plus etos kerja yang profesional, yaitu :
a. Rumeksa (menjaga apa yang menjadi potensi eksistensi manusia).
b. Jumbuhing illat, ulat dan ulah.
Ilat (lidah) apa yang dikatakan, ulat (raut muka) penampilan wajah dan ulah (tindakan) harus sejalan dan seirama jauh dari tipu muslihat, rekayasan, dan kedustaan.
c. Rumasuk (meresap) untuk menumbuhkan sikap lebih menyentuh perasaan seseorang yang membutuhkan uluran tangan karena kesulitan problema yang dihadapi.
d. Remesep (menyenangkan) perbuatan dan ucapan selalu memberikan perasaan estetika yaitu menyenangkan setiap orang tidak sebaliknya yaitu membuat orang jengkel dan susah.
IV. Pembelaan dalam Budaya Jawa
Ada beberapa ungkapan dalam budaya Jawa, suradira jayaningrat lebur dening pangastuti (sekuat apapun kebatilan akan dapat dihancurkan oleh kebenaran), sapa gawe nganggo (siapa yang membuat akan memakai), sapa nandur ngunduh (siapa yang menanam akan memetik hasilnya), tega larane ora tega patine (sampai hati melihat sakitnya tetapi tidak sampai hati melihat matinya), wong temen ketemu wong salah seleh (orang-orang yang rajin dan tekun bekerja akan menemukan kebahagiaan, sedangkan orang yang berdosa atau bersalah hendaknya mengakui kesalahannya) adalah merupakan spirit dalam budaya Jawa untuk memberikan jasa pembelaan bagi mereka yang membutuhkan bantuan dalam rangka memayu bayuning bawana kawula (melindungi rakyat) dari tindakan angkara murka dan ketidakadilan.
Pembelaan atas dasar keadilan dan kebenaran dalam budaya Jawa dipandang sebagai keutamaan amal, dan oleh karena itulah mareka (wong Jawa) mampu melaksanakan sarju wani ing tata (selalu membela kebenaran dan pantang menyerah) apapu resiko yang akan dihadapinya.
Pembelaan dalam kontruksi budaya Jawa pernah dilakukan oleh Sunan Pakubuwana IV atas tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap abdi dalem kinasih Wiradigda, Bahman, Panengah dan Nur Saleh.
Keempat abdi dalem kinasih tersebut adalah ulama yang dikenal anti dengan pemerintah kolonial Belanda, dan berhasil menanamkan ajaran Islam di kalangan penguasa dan pejabat tinggi kasunanan Surakarta.
Banyak kebijakan-kebijakan raja yang didasarkan ajaran mereka dan ini dianggap sebagai ancaman kolonial Belanda.
Dalam Babad Mangkubumi dijelaskan doktrin-doktrin mereka adalah sihir yang menyeleweng dari hukum-hukum Rasul (Ricklefs, 1974).
Tudingan ini dibantah oleh Sunan Pakubuwana IV; tidak benar ajaran mereka itu jahat, saya mengikuti sepenuhnya kitab al-Qur’an. Pemerintah kolonial Belanda bersikeras untuk menangkap mereka.
Melalui Pangeran Purbaya, Mangkubumi, Buminata dan Ngabehi pada tanggal 26 November 1790 keempat abdi kinasih tersebut dibawa ke benteng Belanda.
Pembelaan yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwana IV tidak sia-sia sehingga keempat abdi kinasih tersebut tidak sampai dihukum mati.
Pada waktu itu ancaman tidak hanya ditujukan kepada keempat abdi kinasih saja tetapi juga terhadap Kasunanan Surakarta, yaitu dengan peristiwa Geger Pakepung yang terjadi pada tahun 1790, dimana di latarbelakangi oleh keagamaan.
V. Penutup
Pandangan hidup Jawa adalah terbentuk dari alam fikiran Jawa tradisional yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral warisan nenek moyang.
Nilai-nilai moral dan keutamaan masyarakat Jawa banyak di jumpai dalam berbagai serat piwulang seperti Serat Wulangreh, Wedhatama, Cipta Waskhita, Suluk Haspia, Serat Centini, Salaka Jiwa dan lain sebagainya.
Naskah Jawa klasik tersebut di atas banyak mengungkap berbagai perjalanan hidup dalam kehidupan manusia, mulai sosial budaya, ekonomi, kepemimpinan, hukum, militer dan pemerintahan.
Sesuai dengan karakteristik budaya Jawa yang tradisional yang menekankan aspek religius, unggah ungguh (sopan santun) memperhatikan rosing rasa (perasaan yang mendalam) pesan-pesan kebaikan direfleksikan dalam berbagai simbol-simbol kehidupan Jawa.
Secara ontologis nilai-nilai tersebut dapat dijadikan spirit menuju etos kerja Advokat yang profesional dalam arti sebenarnya, Budaya Jawa dalam pesan moralnya: nyawijining ilat, ulat lan ulah dengan rosing rasa untuk mendapatkan pambukaning kalbu (hati yang terbuka) kasunyatan sejati (kebenaran yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu) adalah sebuah kesederhanaan paradigma hidup.
Dengan demikian fungsi dan peran manusia dalam mengemban profesi dapat dipertanggungjawabkan baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia.
Daftar Pustaka
Budiono Herusatoto, 2000, Simbolisme Dalam budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita Graaha Widia.
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama. Istana Mangkunegaran, Solo.
Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, Serat Cipta Waskhita, Serat Suluk Haspia, Kasunanan Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsita, Serat Witaradya, Kasunanan Surakarta.
Yasadipura I, Babad Pakepung, Istana Mangkunegaran, Surakarta.
Ricklefs, M.C, 1974, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History Of The Division Of Java, London: Oxford University Press, Ely House.