// //

Kriminologi: Pengembangan Kejahatan

Korban kejahatan mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya kejahatan khususnya pada kasus penipuan. Akan tetapi kadangkala korban juga bisa menjadi sebagai pelaku, contoh dalam kejahatan narkotika, dimana korban juga terjerat tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Pihak korban mempunyai peranan dan tanggung jawab yang fungsional dalam pembuatan dirinya sebagai korban.

Korban dalam sebuah tindak pidana dapat diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut:

1. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya  menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku.
2. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
3. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius,  judi, aborsi, prostitusi.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat beberapa tipe korban, yang kami ambil relevansinya secara umum yang kami temui dilapangan sebagai berikut:

1. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
2. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai  kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia  juga sebagai pelaku.

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :

1. Non-participating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan,
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban,
3. Pro-active victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan,
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban,
5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.

Jika ingin mengerti masalahnya menurut proporsi yang sebenarnya, maka harus diperhatikan semua hubungan yang ada yaitu antara para peserta dan hal-hal lain dalam timbulnya suatu tindak pidana. Para penjahat dan para korban adalah hasil interaksi satu sama lain. Jadi jelas bahwa jika ingin memahami para pembuat korban/penjahat dengan baik menurut proporsi yang sebenarnya harus juga memahami si korban begitu pula sebaliknya. Antara korban  dan  pembuat korban masing-masing bertanggung-jawab secara fungsional terhadap terjadinya suatu kejahatan yang dihasilkan bersama baik aktif atau secara pasif.

Kerap kali dapat juga dikatakan bahwa masyarakat sendiri yang salah dalam hal ini, karena bersikap memberikan kesempatan atau membiarkan negara menyalahgunakan kekuasaan   karena keadaan-keadaan tertentu misalnya karena ketakutan, keganasan, malas. Hampir setiap negara dan masyarakat, sedikit banyak adalah  kriminogen dan  dapat menimbulkan korban bahkan masyarakat baru dan negara-negara yang baru berdiri yang didirikan untuk menggantikan yang lama dapat menjadi krominogen.

Pembiaran dalam arti membiarkan berlangsungnya perbuatan yang menyimpang yang dilakukan oleh penguasa atau golongan masyarakat atau orang perorangan untuk kepentingan sendiri atau orang lain, menimbulkan korban pada anggota masyarakat tertentu dalam masyarakat tersebut.

Partisipasi atau ikut sertanya si korban dalam suatu penyimpangan dengan tujuan untuk mencapai sesuatu demi kepentingan diri sendiri atau orang lain dapat menyebabkan diri sendiri menjadi korban misalnya:

- Ingin mendapatkan barang yang baik dengan harga yang sangat rendah, ternyata barang yang dibeli adalah barang palsu. Jadi korban penipuan (seringkali terjadi pada proses jual beli online),
- Ikut dalam penyelundupan karena ingin cepat berhasil mendapatkan uang, kemudian tidak berhasil dan mejadi obyek pemerasan petugas.
- Mengadakan perkenalan dengan orang yang tidak jelas, akibatnya menjadi korban pemerkosaan.
- Menjadi korban karena memberikan kesan tertentu sebagai orang berada, berkedudukan, berkuasa, tidak mampu fisik, tidak tahu jalan, bodoh dan lain sebagainya sehingga mendorong orang menjadikan sebagai korban.

Dengan demikian jelaslah bahwa korban juga mempunyai peranan penting dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban ikut bertanggungjawab atas terjadinya seorang pembuat korban. Korban mempunyai tanggungjawab fungsional.

Kewajiban dari korban kejahatan tidak boleh diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.  Ada   beberapa   kewajiban  umum  dari  korban kejahatan, antara lain (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris gultom, 2007:54-55):

1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas  dendam terhadap  pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak  mengajukan tuntutan  yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.

Perlu dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan peranan korban dalam tulisan ini bukan secara faktual sebagai penyebab melainkan secara fungsional sebagai pemicu, sedangkan realitanya secara materiil masih harus dibuktikan didalam persidangan sehingga dapat secara utuh menghadirkan sebuah konstruksi fakta yang sebenarnya untuk tercapainya suatu keputusan yang berkeadilan serta proporsional.

Kita juga diharapkan dap[at membedakan mana yang dimaksud sebagai suatu realita dan mana yang utuh sebagai sebuah fakta, yang mana fakta merupakan suatu kumpulan dari realita-realita yang membentuk bangunan faktual atas peristiwa dari hubungan timbal-balik antar subjek yang berinteraksi hingga terjadinya suatu tindak pidana yang menimbulkan korban.

Kita tidak hanya berbicara tentang pelaku sebagai pembuat kejahatan melainkan pelaku sebagai subjek yang harus bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah menimbulkan korban, bukan sekedar perbuatan yang telah memenuhi unsur tindak pidana belaka, oleh karena si korban juga melakukan suatu perbuatan, agar dapat menjelaskan mana yang perbuatan pidana dan mana yang pertangungjawaban pidana sehingga masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam bersikap dan juga agar dapat terhindar dari akibat yang lebih berat.

Setiap pelaku kejahatan punya pilihan dan pasti memilih, dan biasanya yang terpilih adalah yang berpotensi sebagai korban, menurut kamus besar bahasa Indonesia arti dari kata potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya;

Jadi, dalam persepsi pelaku adalah bahwa "dia yang mempunyai kemampuan yang dimungkinkan untuk dikembangkan sebagai korban adalah selalu yang terpilih sebagai penerima kejahatan" (Legal Trust: quotes)

Sumber: pendapat hukum Legal Trust dan dari beragam sumber.

Pengantar


Obscuris vera involvens

(kebenaran itu ditutupi oleh kegelapan)


Per fas et nefas

(melalui yang benar dan yang salah)


Damihi Facta Do Tibi Ius

(tunjukkan kami faktanya, kami berikan hukum-nya)


Iustitia omnibus

(keadilan untuk semua)


Tunggu...