Soal kriminalitas (dalam hal ini kejahatan oleh anak) pakek teori piramida predator itu nggak relevan, dalam bahasa hukum itu disebut kesesatan relevansi, dalam bahasa logika itu ignorantia ellenchi atau kesesatan dalam ngambil kesimpulan karena keliru nempatkan premis mayor dan minornya. Kalo dinalar terus berarti yang salah yang paling atas, kan?!
Kalo untuk penelitian mungkin kita sah-sah aja punya kesimpulan seperti itu, tapi dalam praktek penanganan perkara dilapangan butuh pertimbangan yang matang tapi cepat. Yang dibutuhkan oleh hukum adalah benar/salah dan bukan validitas prosentase data statistik. Dalam hukum terutama pidana kata "mungkin, bisa jadi dan analogi" adalah tabu, karena dalam hukum ada asas "keinsyafan atas benar-tidaknya perilaku" (pengetahuan akan akibat).
Sudut pandang hukum nggak bisa digeneralisir, LT juga yakin kalo lembaga Children Crisis Center pasti punya pedoman analisa sendiri untuk masing-masing anak dengan stadium yang berlainan sehingga penanganannya pasti beda.
Bukankah begitu?
Kenyataan yang ada dilapangan adalah bahwa dengan adanya lembaga peduli anak bermasalah hukum pun tidak membuat keadaan semakin baik. Mungkin betul kuantitas kejahatan anak secara statistik berkurang (benarkah data itu? Atau sekedar dibuat sedemikian rupa supaya lembaga itu bisa eksis dengan relevansi bidik misi semata, sehingga tidak komprehensif?) tapi kualitas kejahatannya semakin berbobot.
Pernyataan bahwa anak kriminal itu juga korban keadaan adalah terlalu sempit, logika yang digunakan juga kurang asik, kalo gitu apa nggak benturan dengan aktivis perempuan? Mempersulit ketegasan hukum padahal masyarakat menginginkan hukum tidak tumpul.
Kita semua juga korban keadaan, korban politik, korban perasaan dlsb dan memang dituntut untuk bisa bersikap positif ditengah pertentangan, bukannya malah dimaklumi. Jangan pernah berpikir untuk memaklumi kebiasaan yang nggak wajar.
Logikanya, kalo ada hukuman kebiri trus penjahatnya ngamuk-dendam maka bukankah itu (secara implisit) berarti dia masih punya niat jahat? Karena secara psikis dendam itu timbul dari hilangnya kebanggaan, padahal itu ironis, bangga dengan penyalahgunaan organ biologis dalam wilayah kriminal.
Kalo ada yang mikir bahwa perilaku anak kriminal bisa diperbaiki maka ada satu pertanyaan, "bisakah aktivis peduli anak itu berpikir seperti LT atau menjadi LT?" Kalo tidak bisa maka demikian juga dengan si anak kriminal yang nggak akan mau (nggak bisa) merubah pola pikir, dan itu berarti akan selalu ada perbedaan yang dengan demikian maka kita harus tegas untuk tidak bersikap permisif pada "potensi" kejahatan. Kita harus cerdas memilah mana khilaf dan mana salah.
Penyakit mental itu jauh lebih kompleks ketimbang penyakit fisikal, dan umur kita nggak akan cukup nuntaskan itu, berkurang pun tidak karena potensi-potensi (bibit) kejahatan itu hanya tertahan dan nggak hilang dengan penanganan permisif (preventif), terus menumpuk dan siap membuat kerusakan parah dalam skala massive pada saatnya nanti. Rehabilitasi, bimbingan kegiatan positif dan keterampilan itu hanya memberi kulit dan topeng, mengubah penjahat menjadi psikopat.
Setelah kasus Yuyun di Rejanglebong dan kasus yang sama diwaktu ini, masihkah kita berpikiran bahwa "nakalnya anak adalah sebuah kewajaran?". Oke lah kalo masih, tapi harus diingat, " kenakalan yang dianggap wajar saat masih usia anak itu jangan sampek jadi kebiasaan!"
LT pun sempat salah memaknai definisi dari para pakar yang ternyata seperti ini, "kenakalan di usia anak = kejahatan di dunia orang dewasa". Bayangkan, kenakalan adalah kejahatan yang sedang bermain sambil belajar!
Kejahatan pun bisa dilakukan oleh anak, kemudian apa yang akan terjadi bila si anak ini sudah dewasa?
Tobat kah?
Kapok kah?
Berubah baik kah?
Kita berjudi dengan waktu, bukan?
Tobat kah?
Kapok kah?
Berubah baik kah?
Kita berjudi dengan waktu, bukan?
Menduga apa yang akan terjadi nanti, atau kenyataannya malah memang menganggap wajar. Kalo saat ini si dewasa berbuat jahat (yang sudah dikuasai keterampilannya oleh anak) maka nanti para pengganti sudah tidak melakukan kejahatan lagi melainkan KEBEJATAN, parah.
Tahukah anda, siapakah sebenarnya tokoh yang mampu menghasud pola pikir kita di jaman ini yang menganggap kenakalan anak adalah hal wajar? Pendapat yang masuk akal, mengakar dan berkenan dihati para orangtua seperti sebuah keyakinan agama, dia adalah "Emile Durkheim", psikolog sosio-politik sekuler kebangsaan Perancis.
Socio-Politik?
Harus ada pembeda antara kenakalan anak, kejahatan oleh anak dan kejahatan!