// //

Hukum Korupsi

UU Anti Korupsi menurut LT justru menjadi akses bagi kemiskinan rakyat, salah satu sarana utama pemiskinan, sadar atau tidak - langsung atau tidak.

logika sederhana pertama LT adalah bahwa terdapat frasa "dapat menimbulkan kerugian negara", hal yang secara khusus hanya terdapat pada pidana Korupsi adalah "unsur formil" dan "potential lost" muncul pada tafsiran "meskipun belum terjadi kerugian akan tetapi dapat saja menimbulkan kerugian negara".
pertanyaan pertama, "bagaimana bila ternyata potensi yang dikhawatirkan berdampak pada kerugian negara itu tidak terjadi malah sebaliknya menambah keuntungan (memperkaya) negara?"

LT sendiri menemukan keraguan berikutnya setelah mempertanyakan itu, terusik dengan asumsi sempit yang provokatif secara eksklusif yaitu "negara merasa terancam (akan) dirugikan, dengan berjalannya peradilan anti korupsi maka keuangan negara bisa diselamatkan".
secara sederhana saya jabarkan satu pertanyaan, "apakah negara itu adalah rakyat?"

sepanjang yang LT pahami selama LT ada setelah memahami praktik penyelenggaraan negara ternyata jawabannya adalah "TIDAK", melainkan "negara adalah ideologi partai politik" (LT harap kita semua dapat jujur dalam menyimak hipotesa itu). bilamana demikian maka tidaklah relevan saat kerugian negara itu diasosiasikan sebagai kerugian rakyat Indonesia.

dan, ternyata dalam materi UU kita terdapat sebuah nuansa "paranoia" (ketakutan berlebihan) akan sesuatu yang belum tentu terjadi, yang berarti jelas menunjukkan bukti kelemahan pertama yang nyata bahwa "rakyat Indonesia tidak pandai dalam hal logis-silogisme matematis, bisa jadi terdapat degradasi kualitas dan ini tentunya mempengaruhi tingkat kepercayaan saya terhadap kebaikan kurikulum pendidikan pasca-reformasi (hal ini akan LT bahas pada kesempatan lainnya)" kecuali hanya sekedar perhitungan (perkiraan) untung-rugi, ini degradasi inteleksi.

atau mungkin perkiraan (tafsiran) tersebut dengan sengaja dalam sebuah maksud dijadikan sebagai bagian dari suatu skenario politis, namun sayangnya, politik kenegaraan kita bekerja didalam negara dan bukan untuk dipraktikkan sebagai pelindung kesejahteraan rakyat dari tekanan politik asing dalam beragam bentuk dan aspek.

terdapat juga kelebihan dan kekurangan dalam UU Anti Korupsi yang mengarah kepada negativisme, antara lain.
1.       pasal 2 tidak mencantumkan frasa "dengan sengaja/dengan maksud/dengan tujuan"
       sehingga dapat disimpulkan tidak perlu niat, tidak perlu kesengajaan dan tidak perlu adanya perilaku sadar untuk menjerat perbuatan seseorang untuk dikatagorikan kedalam situasi korupsi, ketiadaan frasa inilah yang menjadikan pasal tersebut sebagai "pukat harimau".
       karena bagaimanapun juga pembuat UU harus sebaliknya menyadari akan prinsip "keinsyafan tentang akibat" yaitu, "bagaimana bila secara formil seseorang itu masuk dalam lingkaran namun secara materill dia terjebak didalam lingkup tersebut dikarenakan adanya sebuah tipu-daya atau dengan kata lain dijadikan kambing hitam (scape goat)?"
2.       terkait dengan poin kesatu diatas maka, "bagaimana mungkin seseorang dapat menunjukkan bukti berupa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) bahwa dia telah tertipu bilamana tidak mempunyai kesempatan untuk melaporkan masalah tersebut dalam wilayah pidana oleh karena Peradilan Korupsi itu (merasa) harus diprioritaskan (didahulukan) sedangkan seringkali Hakim justru menanyakan keberadaan Putusan tersebut sebagai media pembuktian terbalik tapi dilain pihak beranggapan bahwa tipu daya itu menjadi 'urusan lain' diluar perkara Korupsi dan harus dikesampingkan?"
       semestinya terdapat mekanisme koneksitas dalam hal semacam itu, dengan kata lain bisa jadi peradilan korupsi diprioritaskan namun dapat saja ditunda terkait kepentingan pidana tipu-daya yang dimaksud.
3.       bisakah (mengingat budaya) dimunculkan idea kecelakaan psikis? Dalam budaya asli kita sangat meresapi prinsip TRUST/kepercayaan, apalagi kita manusia bukan robot mekanis dengan artificial intelligence yang tanpa lelah ataupun jenuh menjalankan perintah-perintah yang disisipkan kedalam sebuah micro-chip berupa data statis, melainkan "saling percaya", dan pasti ada khianat dalam interaksi manusia yang membuat keadaan menjadi berbeda menurut pandangan umum dan aparat penegak hukum pun adalah merupakan manusia awam saja yang dibedakan dengan seragam serta kekhususan kewajiban.
4.       adalah bodoh dan naif bahwa sebuah formalitas dianggap sudah memenuhi unsur yang disimpulkan membuat seseorang berniat memperkaya orang lain, terkecuali yang dimaksud dengan orang lain itu adalah anak/istri/keluarga dekat yang keuntungan hartanya akan dinikmati juga oleh diri pribadi.

apakah kita rela memperkaya orang lain selain diri kita sendiri dan keluarga dengan keinsyafan dimana akibatnya akan sangat buruk bagi diri kita? tentu bodoh bukan?!

UU Anti Korupsi apa ini yang menjadikan negara justru secara sadar akan memiskinkan rakyat secara perlahan tapi pasti?

pemiskinan rakyat demi kelancaran skenario politik berkesinambungan yang justru ditujukan terhadap negara kita sendiri, skenario yang justru menjadi celah bagi kelancaran tekanan politik asing.

perlu diingat bahwa paranoia itu bisa menular, bijaklah dalam bertandatangan, akan tetapi bagi LT untuk menghindar dari praktek korup maka "tanda-tangan saya harus dihargai mahal", sementara selesai bagian ini.

Pengantar


Obscuris vera involvens

(kebenaran itu ditutupi oleh kegelapan)


Per fas et nefas

(melalui yang benar dan yang salah)


Damihi Facta Do Tibi Ius

(tunjukkan kami faktanya, kami berikan hukum-nya)


Iustitia omnibus

(keadilan untuk semua)


Tunggu...