Progresif, Penemuan Dan Kewenangan Hakim
Beberapa yurisprudensi terkait dengan barang bukti menyatakan: status barang bukti dan persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex factie kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 tanggal 6 Mei 1975).
Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga) dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU Nomor 7 Tahun 1955 dan Pasal 39 KUHAP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964). Tetapi barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr 1976 tanggal 1 Juli 1978).
Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex factie majelis hakim (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 tanggal 16 Oktober 1978).
Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr 1970 tanggal 3 Maret 1972).
Semua itu pada intinya menguraikan bahwa putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex factie majelis hakim dan perampasan tidaklah diharuskan.
Demikian juga mengenai hal itu secara implisit disentuh pada:
- Putusan MK No. 21/PUU-III/2005
- Pasal 39 KUHAP
- Pasal 3 Keputusan Jaksa Agung R.I. No. KEP-089/J.A/8/1988
- Kajian tim BPHN tentang Lembaga Penyitaan dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan
- Catatan Rapat Kerja Komisi III DPR-RI dengan Jaksa Agung RI, Rabu, 28 Maret 2018
Tetapi barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976 tanggal 1 Juli 1978).
Dari perspektif hukum progresif [Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2007, h. 12], pendapat beliau maka dapat dijadikan acuan dalam perkara First Travel dengan diputuskan melalui amar yang berbunyi “Barang bukti dirampas untuk negara dan dikembalikan pada yang berhak dalam hal ini nasabah secara proporsional".
Relevansinya bisa diambil contoh dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970)
Dan Putusan MA No. 631 K/Pid.Sus/2016 tentang asset Oknum Bank Century yang dikembalikan kepada para nasabah.
Blunder Norma, Pernyataan dan Jenis Perkara.
Mengenai barang rampasan, Pasal 46 ayat (2) KUHAPidana menyatakan, “Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain”.
Dalam konsiderans Perkara Nomor 83 dan 84/Pid.B/2018/PN Dpk disebutkan, "Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara".
Tapi putusan berhenti pada frasa "dirampas untuk negara", tidak ada keterangan lebih lanjut apakah untuk dimusnahkan ataukah dirusakkan atau digunakan dalam perkara lain (TPPU), tidak ada kejelasan dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap itu.
Sementara, bila MA melalui juru bicaranya mengatakan bahwa hal itu adalah amanat Pasal 39 KUHPidana, maka rujukan tujuan perampasannya diuraikan dalam Pasal 46 ayat (2), akan tetapi tidak demikian kenyataannya.
Dalam ketentuan KUHAP, perampasan akan diikuti dengan perintah tindakan lebih lanjut sesuai keputusan pengadilan terhadap barang rampasan antara lain:
1. dirampas untuk kemudian dilelang, dan disetorkan kepada kas negara;
2. dirampas untuk kemudian dimusnahkan;
3. dirampas untuk diserahkan kepada instansi yang ditetapkan guna dimanfaatkan, dan
4. dirampas untuk digunakan sebagai bukti terhadap perkara pidana yang lain.
Dengan berhentinya amar pada frasa "dirampas untuk negara" maka tidak ada korelasi meskipun sebelumnya dicantumkan keterangan "terbukti melakukan TPPU", akan tetapi karena frasa tersebut tidak diikuti dengan penegasan maksud dari perampasan itu maka putusan itu menjadi mandul dan tidak punya tujuan perampasan, dan hal semacam ini justeru akan menimbulkan penafsiran serta kebijakan sendiri yang bisa jadi implementasinya secara administratif merugikan nasabah.
Dilain pihak, bila Kejaksaan dalam pernyataannya mengatakan "sudah meminta untuk dikembalikan pada nasabah" tapi secara acontrary menuntut First Travel dalam perkara lain (TPPU) yang tentunya dalam konteks kejahatan Negara, sehingga asset yang disita dan dirampas untuk Negara secara implisit berarti “dirampas untuk digunakan dalam perkara lain”, inilah ironi dari pernyataan-pernyataan Kejaksaan Agung.
Jaksa menerapkan Pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan, Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat 1 KUH Pidana tentang penipuan secara bersama-sama serta Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Fakta yang diungkap dipersidangan bahwa uang jamaah digunakan oleh bos First Travel untuk belanja barang-barang mewah.
Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, "Padahal, kami tuntutannya (aset barang bukti) dikembalikan ke pada korban. Putusan itu kan jadi masalah".
Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Mukri menambahkan bahwa pihaknya akan mencari terobosan untuk tetap mengembalikan aset kepada korban. Namun, beliau mengatakan, pihaknya saat ini sedang melakukan kajian terlebih dahulu.
Kejaksaan tidak menuntut pengembalian kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata, akan tetapi melalui Pengurus Pengelola Asset, padahal diketahui Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat pernyataan penolakan untuk menerima pengembalian barang bukti sejak proses persidangan pada pengadilan tingkat I.
Andi Samsan Nganro (jubir MA) [Senin, 18 Nov 2019, 17:52 WIB, TVOne live - kabar petang] menanggapi yang pada intinya bahwa Mahkamah Agung atau pengadilan hanya memeriksa dan memutus perkara pidana penipuan tapi tidak termasuk mengurus hal-hal rinci seperti pembagian asset yang disita, apalagi pengurus pengelolaan sudah menolak menerima pengembalian barang sitaan.
Konsiderans Dan Petitum Bukan Tidak Bisa Diubah
MA sudah bertindak terlalu positivistik, harusnya demi kepentingan umum diabaikan "rampasan negara" itu.
Memang dilemanya ada di KUHAP dan SK Menteri Agama, tapi faktanya jelas bahwa dana tersebut diniatkan untuk kepentingan ibadah yang tidak bisa digeneralisir dalam kata "ikhlas" dalam analogi infaq.
Meskipun ada celah hukum untuk menggugat secara Perdata namun tentunya hal itu sudah keluar jalur dan mengabaikan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan - paling tidak arah argumentasi MA bisa jadi demikian, "itu banyak nasabah dan bisa dibiayai bersama" atau “karena hukum acara pidana” padahal nilai hukum, filosofi dan keadilan tidak terletak lema itu (biaya bersama dan hukum yang mengakomodir).
Bila MA memberikan argumen bahwa Hakim tidak bisa mengintervensi putusan dan harus menghargai pertimbangan serta putusan Hakim lainnya maka itu adalah argumen yang tidak benar, sementara sebagai judex factie dan judex juris maka para Hakim bisa saja berpendapat sama kemudian menguatkan, bisa saling berbeda dalam beberapa hal baik fakta, pertimbangan maupun amar putusan sehingga membenahi putusan bahkan bisa sangat berbeda sehingga membatalkan putusan tingkat sebelumnya. Bahkan ada disebut sebagai dissenting opinion (pendapat beda).
Dimana Surat Keputusan Menteri Agama No 589 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa seluruh uang jemaah wajib kembali atau diberangkatkan ini ditempatkan dalam perkara pidana menyangkut ibadah keagamaan?
Data diri para korban jemaah First Travel telah diserahkan ke Crisis Center di Bareskrim Mabes Polri yang dibentuk Kementerian Agama, Mabes Polri dan Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dapat berperan sebagai mediator antara negara dengan para korban yang mana UU Perlindungan Saksi dan Korban juga memberikan hak untuk memperoleh kompensasi dan atau restitusi bagi yang berhak.
Menurut Prof. TM Luthfi Yazid, "Konstitusi menjamin fundemental rights Warga Negara untuk melaksanakan ibadah keagamaannya termasuk umroh (vide Pasal 28 dan 29 UUD 1945)
Rupbasan Melindungi Hak Konstitusional WN
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa di dalam Rupbasan di tempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk benda yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.
Premis untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum tersebut adalah pengawasan yang efektif, baik secara internal (sistem) maupun secara eksternal (pengawasan dari masyarakat).
Oleh sebab itulah, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur, adanya sistematika pengawasan melalui pembagian wewenang dimana setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang tersendiri yang berbeda satu sama lainnya.
Rupbasan dikelola oleh Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM).
Adapun latar belakang atau dasar pemikiran dibentuknya institusi Rupbasan adalah sebagai berikut [Tim Pengkajian Hukum Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Lembaga Penyitaan Dan Pengelolaan Barang Hasil Kejahatan, Jakarta 2013, hlm 6]:
1. Adanya Pembaharuan Pidana, yaitu dibentuknya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang lebih memperhatikan hak asasi manusia dengan menerapkan asas mekanisme “check and balances” diantara aparat penegak hukum.
2. Adanya desakan atau tuntutan perlindungan HAM khususnya perlindungan terhadap harta kekayaan dan hak milik (Universal Declaration of Human Right) dalam hal milik dilindungi, tercantum pada pasal 17 ayat (1) dan (2).
3. Adanya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa negara berkewajiban memberikan perlindungan terhadap individu, keluarga dan harta benda (pasal 29).
Hak Konstitusional WN Tidak Boleh Dirampas
Berkaitan dengan latarbelakang dibentuknya Rupbasan Pasal 28 a sampai dengan pasal 28 j UUD 1945 telah mencantumkan secara eksplisit hak-hak asasi manusia bagi rakyat Indonesia serta negara mempunyai kewajiban untuk melindunginya. Selanjutnya pasal 28i menyatakan bahwa, “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”.
Konsep keadilan menurut Morris Girnsberg (2003), digambarkan dalam 3 bentuk, yakni keadilan formal, keadilan distributive dan ketetapan konpensasi untuk ketidakadilan.
Keadilan formal dimaksudkan sebagai keadilan untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan dari negara atau siapapun warga masyarakat yang mempunyai “kekuasaan” dan untuk itu dibuatkan aturan hukum secara formal.
Keadilan distributive adalah keadilan yang dikaitkan dengan adanya sikap dan tindakan yang didasarkan atas keseimbangan antara hak dan kewajiban individu secara proporsional.
Sedangkan bentuk keadilan yang ketiga adalah, keadilan yang didasarkan atas adanya konpensasi (ganti rugi) terhadap mereka yang telah diperlakukan dengan tidak adil oleh siapapun, baik oleh negara maupun oleh perorangan.
Dalam hubungan ini, seperti diketahui bahwa secara konstitusional, warga negara atau rakyat memiliki hak-hak yang diatur secara tegas dalam pasal 28 UUD. Oleh sebab itu maka dalam saat yang bersamaan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak konstitusional rakyatnya.
Hak konstitusional warga negara dalam konteks tulisan ini adalah hak yang tercantum dalam pasal 28 H (4) yang berbunyi, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”, (termasuk oleh negara ketika negara menjalankan wewenang yang dimilikinya).
Hal ini diperkuat pula dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 36 (2) yang berbunyi, "Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.