Saya hanya mereview secara umum berdasarkan sudut pandang hukum sosial kemasyarakatan dari Putusan Mahkamah Agung nomor 574 K/ Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018 yang menganulir Putusan PN Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, dan menjatuhkan vonis bersalah terhadap Baiq Nuril dengan hukuman penjara disertai denda atas dakwaan Jaksa Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril, merekam percakapan teleponnya dengan Kepala SMAN 7 Mataram berinisial M menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya. Cerita itu disampaikan M melalui sambungan telepon kepada Baiq Nuril.
Tujuannya, untuk dijadikan bukti bahwa dirinya korban pelecehan seksual dan bukan sebagai hubungan gelap. Namun, bukan atas kehendak Baiq rekaman tersebut menyebar. Mulai dari rekannya dan ditransmisi ke laptop, kemudian rekaman ini dikirimkan oleh rekan Baiq Nuril kepada pihak lain.
Lalu, pihak lain ini mengirimkan rekaman tersebut ke pengawas SMAN 7 Mataram. Tak terima, M kemudian melaporkan Baiq Nuril ke polisi pada Maret 2017.
Adalah hal yang "ajaib" dalam dunia hukum ketika kejahatan atau pelanggaran terhadap harga diri (pelecehan seksual) dari domain publik berdasarkan putusan MA tersebut justeru menjadi domain private.
Kejahatan atau pelanggaran sosial yang dilakukan dengan alat canggih dapat dianulir dan korban justeru dapat dijerat dengan UU ITE yang hanya mengatur tentang alat, sebuah alat yang dapat digunakan untuk melakukan kejahatan dimensi baru.
Tentu saja Baiq Nuril berhak untuk mendistribusikan rekaman yang dianggapnya sebagai bukti untuk melaporkan kejahatan itu yang dia adalah korbannya, bertanya kepada siapa saja yang sekiranya dapat menolongnya.
Pada dasarnya, alat tersebut sama dengan alat konvensional lainnya yang berfungsi sosial, alat komunikasi sebagai ganti lisan dan tulisan.
Alat yang sebenarnya menghasilkan suatu produk yang dapat dengan mudah dan makin mudah untuk dibuktikan kebenarannya, berbeda dengan surat ran lisan yang sulit dibuktikan otentisitas dan kebenarannya dengan forensik, berbeda dengan rekaman yang sekqrang makin dimudahkan.
Surat, bahkan bukan hanya sesuatu yang bersifat publik, tidak hanya dapat digunakan sebagai bukti kejahatan akan tetapi dapat digunakan sebagai bukti keperdataan, dan bilamana ada unsur kejahatan atau pelanggaran maka juga bisa digunakan surat itu untuk melapirkan si pelaku.
Rekaman, itu saat ini sebenarnya dapat digunakan oleh orang secara umum untuk membuktikan adanya kejahatan, sama halnya dengan pengaduan atau pelaporan terhadap kejahatan kerah putih, jangan hanya secara eksklusif hanya untuk kejahatan khusus akan tetapi seharusnya juga dapat digunakan untuk pidana pada umumnya, ini adalah urgensi publik dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi yang dapat membantu aparat penegak hukum.
Membantu untuk mempermudah penentuan siapa korban dan siapa si penjahatnya, bukan hanya tentang alatnya akan tetapi tentang apa isi atau bukti yang dimunculkan dalam rekaman tersebut.
Ajaib, kejahatan dalam domain publik atas nama HAM yang berstandar ganda berubah menjadi urusan private yang terlanggar.
Seringkali, penegak hukum hanya memperhatikan kepada judul bukunya saja, padahal dalam kasus Baiq Nuril bukunya itu UU ITE akan tetapi ternyata isinya tentang pelecehan seksual.
Bila konteksnya dipaksakan hanya mengenai rekaman elektronik yang dimiliki Baiq Nuril maka lihatlah alat apa yang digunakan oleh M untuk melecehkan Baiq Nuril.
Bila dulu pelecehan itu dilakukan oleh M maka alat pelecehan itu tentu hanya sebatas lisan atau tulisan surat, tidak masalah dengan UU ITE, dan tidak ada masalah dengan HAM dan urusan private, karena materinya adalah pelecehan, kejahatan dalam domain publik.
Ada prinsip sosial dalam masyarakat, yaitu "jangan lihat siapa yang mengatakan, tetapi perhatikanlah apa yang dikatakan."
Sebenarnya, Hakim dengan kewenangannya bahkan dapat memerintahkan kepolisian untuk memeriksa lebih lanjut tentang kebohongan atau kejahatan yang menurut keyakinannya ditemukan dalam sebuah persidangan.
Kita bukan kehilangan penegak hukum yang berkualitas, tetapi kita kehilangan kualifikasi-kualifikasi benar atau salah.
Kita terkhilaf tentang prinsip integritas.
Hukum pada hakikatnya adalah resultante, kesepakatan, dan... tidak ada hukum yang menyebutkan bahwa "penjahat dengan menggunakan teknologi canggih harus dilindungi secara private atas nama HAM."
Sayangnya, putusan atas Baiq Nuril bahkan melampaui kesepakatan, ia adalah produk Yudikatif yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga manapun, sehingga dengan demikian kejahatan umum yang menggunakan alat/teknologi dapat terlindungi.
Dalam kasus Baiq Nuril, mungkin apa yang disimpan oleh dia adalah terlarang akan tetapi isi yang ada didalamnya adalah sebuah tindak pidana, isinya adalah tentang kejahatan... dan Baiq Nuril dilarang oleh peradilan untuk memiliki bukti kejahatan yang dilakukan oleh orang terhadap dirinya - itulah kebenarannya yang harus dipastikan oleh hukum bahwa isinya adalah sesuatu yang salah.
Justeru, M adalah orang yang dengan sengaja dan secara intens mengirimkan suaranya atau memberikan akses dengan menggunakan media telepon melalui jaringan selular kepada Baiq Nuril yang kemudian mendengarkan dan mengetahui pikiran mesum/asusila dari M.
Dalam peristiwa hukum harus dilihat ante-factum (fakta permulaan), factum (fakta yang terjadi) dan post-factum (fakta hasil), karena apabila tidak maka pembelaan terpaksa pun akan tampak bodoh bila masuk dalam KUHPidana.
Sebuah upaya kejahatan pembunuhan yang berbalik menjadikan pelaku sebagai subjek yang terbunuh karena pembelaan terpaksa dari si calon korban akan menjadikan Pasal pembunuhan dikenai kepada si calon korban tadi, dengan tanpa peduli sebab-akibat.
Ada caualitas adequate disana, hubungan sebab-akibat, ada alasan pembenar seperti seorang dokter yang harus melukai pasiennya ketika ia harus membedah bagian tubuh pasien, padahal melukai adalah perbuatan pidana tapi tujuannya tidak merugikan.
Ada mens rea, sikap bathin dari Baiq Nuril hingga dia melakukan perekaman, bukan penyadapan.
Quo vadis hukum?!
Baiq Nuril tidak ada hubungannya dengan saya, tapi permasalahan hukum yang dia alami membuat saya belajar untuk bagaimana berpikir dengan baik dan mengambil pertimbangan dengan benar, menalar.
Karena menurut saya, norma tidak bisa ditawar lagi akan tetapi peristiwa hukumnya lah yang membutuhkan penalaran agar tampak relevansi dan konsistensinya dengan unsur pasal yang didakwakan, apakah pantas sesuatu pasal itu diancamkan kepada seseorang.
(Mungkin) unsur Pidana telah terpenuhi, mungkin, akan tetapi tidak pantas dikenai kepada Baiq Nuril.
Sudah banyak kajian yang mereview dengan pijakan aturan dan yuris dibawah ini:
1. Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat (1) & (2)
2. Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Pasal 310 ayat (3) KUHP
4. Pasal 3 huruf b Peraturan MA 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
5. Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300 K/Pdt/2010 tentang perbuatan peringatan yang tidak dapat dipidana.
Ada straafuitsluitingsgronden atas perkara Baiq Nuril dipandang dari ante-factum, alasan untuk tidak boleh dijatuhkannya hukuman meski perbuatannya adalah pidana akan tetapi merupakan tindak represif dari perilaku si M.
Hukum seharusnya berpihak pada Baiq Nuril!!!
Apakah saya membela Baiq Nuril?
Tidak, tapi hak dan kebenaran ada dipihaknya - semoga beliau memang orang yang dizhalimi sehingga saya tidak keliru mengambil bahan tulisan untuk diutakatik.
Dalam hukum acara, Jaksa dapat saja melakukan upaya Kasasi atas Putusan bebas tidak murni, akan tetapi ternyata dalam implementasinya upaya Kasasi tersebut tidak lagi untuk mengejar tuntutan awal melainkan untuk merubah kekeliruan yang menyebut vrijspraak (bebas) agar menjadi onslagh (lepas).
Dengan kata lain dalam bahasa gaul, "elu bilang terbukti tapi bukan masalah pidana, nggak boleh dihukum.. nah kalo gitu yang bener harusnya lu bilang onslagh, bro, lepas bukan bebas (vrijspraak)!"
Dalam upaya Kasasi tersebut dibutuhkan keluasan hati Jaksa, kebijaksanaan, kejujuran dan wawasan hukum yang baik dalam konteks menjalankan prosedur tersebut (Kasasi Jaksa dalam kasus Baiq Nuril), bukan lagi tentang mengejar tuntutan akan tetapi meluruskan istilah yang diberikan oleh Hakim.
Apalagi Banding dan Kasasi bukanlah pemeriksaan faktual melainkan hukum, judex juris bukan judex factie, jadi seharusnya tidak ada fakta yang dipermasalahkan lagi melainkan masalah kekhilafan Hakim dan/atau kesalahan penerapan hukum.
.......
Pasal 244 KUHAP telah memberi rumusan yang tegas, berbunyi, "Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas."
Pemerintah (ketika itu Menteri Kehakiman RI) dalam keputusannya No. M.14 PW.07.03 Tahun 1983, tgl. 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) pada butir 19 dicantumkan :
"Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat mintakan kasasi. Hal ini akan dijadikan yurisprudensi."
Yurisprudensi pertama khusus putusan bebas adalah putusan MA No. 275 K/Pid/1983, tanggal 15 Desember 1983 An. Raden Sason Natalegawa terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bumi Daya dijatuhi pidana 2 tahun 6 bulan yang semula divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat.
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2013 No. 114/PUU-X/2012 perlu juga menjadi renungan para hakim agar tidak terlalu gampang menjatuhkan vonis bebas karena telah membatalkan frasa "kecuali terhadap putusan bebas" dalam pasal 244 KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945."
Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tentang putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Pasal 310 ayat (3) KUHP
“Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Arti Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut yakni dalam hal terbuktinya suatu perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh seseorang, namun ia melakukan pencemaran nama baik tersebut karena ia terpaksa untuk membela dirinya, maka hakim harus menjatuhkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dan bukan putusan bebas (vrisjpraak).
dapat dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgronden)
Peraturan MA 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim harus mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Tindakan penyebaran dalam konteks awam hukum yang lugu semacam itu relevan dengan Putusan MA No. 22/PK/Pid.Sus/2011 dan putusan MA No. 300 K/Pdt/2010 merupakan perbuatan yang tidak dapat dipidana karena dikatagorikan sebagai peringatan oleh Hakim.