Ada kah masalah serius dalam tiga klausul tambahan pada UU MD3, yakni pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas, dan antikritik.
"Kuasa tambahan & antikritik" adalah bahasa insan pers, sarkastik dan provokatif.
Saya fikir enggak ada masalah yang asik untuk diperdebatkan sampek bikin syaraf tegang, biasa aja.
Kalimat konklutif yang baik & objektif sebetulnya adalah "kekhususan profesi legislatif", ini bukan pleonasi (penghalusan).
Lagipula meskipun UU MD3 mensyaratkan adanya larangan penghinaan terhadap anggota dewan tapi itu bukan berarti anti kritik, karena tokh yang bermasalah di jaman now bisa dipastikan aktivis dan jurnalis.
Pasal 122 huruf k Undang-Undang MD3 memang memberikan kewenangan MKD untuk melaporkan pihak yang menghina kehormatan DPR dan anggotanya ke polisi.
Tapi yang perlu rakyat kawal adalah penyusunan kode etik dan tata acara menyangkut pasal ini serta kualifikasinya.
Untuk rakyat umum maka kita lebih baik berpegang pada tanggapan Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik saat rapat dengar pendapat antara DPR dan Komisi III, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/2/2018) mengatakan, dengan adanya pasal tersebut, DPR tidak bermaksud memposisikan anggota Dewan lebih tinggi dengan warga negara lain di hadapan hukum.
"Pasal ini tidak pernah meletakkan kami ini berdiri di atas warga negara Indonesia yang lain".
Jangan berpedoman ke pernyatan, tulisan, opini, asumsi, persepsi ataupun konotasi dari aktivis & insan pers. Bukan berarti tidak percaya tapi supaya lebih bijak.
Rakyat nggak perlu lebih kaya dari para wakilnya, nggak perlu lebih galak dari wakilnya, nggak perlu lebih licik dari wakilnya, nggak perlu juga lebih cerdas - tapi perlu untuk lebih berwawasan dan lebih teliti/jeli.
Ada masalah dengan para wakil rakyat dan produk legislasinya di gedung musyawarah itu?
Tiga kuasa tambahan, yakni pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas, dan antikritik.
Pers zaman now terlalu berlebihan bin lebay mempersepsikan dan menggunakan kata "kuasa" dan "antikritik", itu bukan lagi provokatif tapi agitasi untuk pembaca.
Pembaca disuguhkan anomali, disuapi agar tumbuh dengan kecemasan/kekhawatiran bersama, semua wakil diasumsikan " sakit".
Harusnya pers netral dan objektif juga arif ketika memilih kata (diksi), tidak menimbulkan asumsi negatif yang tendensius, perseptual dan mengarahkan pikiran.
Meskipun kita tau itu lebay tapi awam tentu beda.
Kuasa itu harusnya diganti dengan kata "kekhususan", dan " antikritik" itu pun ternyata dibatasi, maksud dari kritik adalah "bebas dari konotasi negatif insan pers" bukan dari "majikannya" (rakyat).
Ironisnya, kita seperti bercermin dan ngelihat pantulan wajah sendiri, lalu terluka oleh serpihan cermin yang kita pecahkan dengan tangan sendiri.
Sepertinya udah waktunya Mahkamah Konstitusi juga ambil peran sebagai Constitutional Council.
Constitutional Council (Dewan Konstitusi) adalah dewan/komisi yang berwenang menguji RUU yang sekiranya nggak konstitusional dan berpotensi melanggar hak-hak rakyat sebelum disahkan jadi UU.