Pengacara, officieren van justitie (penuntut umum gol. Eropa) & magistraat (penuntut umum residen-ast. residen) lahir dari & dibawah procureur general (jaksa agung), berbeda dengan siswa hukum yang lahir dari rechtschool, dulu lulusannya menjadi rechtskundige, pribumi.
Rechtshogeschool adalah tingkat lanjutan dari rechtschool yang bergelar meester in de rechten, hanya bangsawan dan keturunan Belanda.
Lebih tepatnya adalah sarjana hukum, bukan advokat tapi karena keilmuannya maka layak mendapat tugas advokasi.
Berbeda dengan Pengacara atau Pokrol Bambu Apus berasal dari Procureur, dengan lafal Indonesia istilahnya mengalami perubahan menjadi pokrol, sebutan lainnya adalah zaakwaarnemer.
Apus dalam bahasa Jawa bermakna ‘menipu’ atau ‘memperdaya’. Jadi kata ‘bambu apus’ dikonotasikan dengan ‘oplichter’ (bahasa Belanda yang bermakna ‘penipu’) atau ‘crook’ dalam bahasa Inggris.
Pokrol atau pengacara adalah orang atau pesilat lidah antek tuan tanah di jamannya, jago debat kusir (berbantah tanpa ujung-pangkal) karena tidak berlatar belakang keilmuan hukum sama sekali, melawan petani.
Karena kedekatannya dengan tuan-tuan tanah dan pejabat inilah maka seringkali merangkap sebagai makelar, tujuan mereka hanya uang saja, gayanya perlente dan nyentrik, didominasi oleh pribumi keturunan dan Cina.
Procureur General (Adhyaksa) dulu bertindak sebagai penyidik, penuntut & Hakim Komisaris, namun kemudian muncul dharmadyaksa sebagai oprechter (penuntut secara khusus).
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961, yang membuat surat dakwaan bukan jaksa atau Penuntut Umum, melainkan hakim, sedangkan jaksa hanya membuat surat pelimpahan perkara (Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana, dan Eksaminasi Perkara didalam proses Pidana, Penerbit, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hal. 12.)
Dengan berdasarkan kepada kemampuan kehakimanlah maka dulu seseorang baru dapat menjadi jaksa (dharmadyaksa), karena harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peradilan dan pemutus perkara sebelumnya, sehingga tahu apa yang dilakukan untuk menyidik & menuntut.
Pelurusan bahwa Advokat yang dimaksud dalam UU 18/2003 itu berasal dari 'Advocaaten' dari kata Belanda tapi berakar dari sejarah profesi hukum Perancis & bangsawan di Inggris.
Bukan yang berasal dari 'procureur' atau pokrol bambu apus boneka Kompeni.
Hal ini tersirat dalam Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
Disinilah titik awal kesalahan penyebutan, secara general semua Lawyer dipersamakan sebagai pokrol, yang secara sosiologis adalah pembela tuan tanah antek terpilih dari kompeni.
Bilamana ada yang mengatakan bahwa 'Advokat lahir untuk menghalang-halangi' maka itu adalah wawasan yang keliru karena sifat semacam itu hanya dimiliki oleh mental pengacara, inilah yang harus diketahui dari sejarah keberadaan dan tujuan pengacara.
Dari pokrol-lah berkembang opini asosiatif bahwa Advokat itu adalah pengacara dan pengacara adalah 'pembela', tidak, sesuai Surat Kuasa (terutama Pidana) Advokat adalah Pendamping/Penasehat Hukum.
Akan tetapi definisi 'pembela' itu justru secara afirmatif disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 yang memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
Disinilah kekeliruan itu mulai berkembang dalam asumsi masyarakat awam, bahkan oleh Advokat/Lawyer itu sendiri sehingga menimbulkan opini yang keliru "sebagai pembela orang yang bersalah".
Advokat bukan mendebat kusir tapi meyakinkan pengambil keputusan secara kasuistik.
Sejarah harus diluruskan, dan pengacara memang 'ada untuk membuat acara dan praktik makelar murni' itu sangat jauh berbeda dengan Advokat (Lawyer), para profesional hukum yang sebenarnya yang disebut Advocaat en Proceurers.
Dua profesi dengan sejarah berbeda pada era yang sangat berdekatan, sehingga teridentifikasi secara keliru.
Salam Officium Nobile.
Sumber: beragam