Advokat tentu memiliki konstruksi hukum sendiri berdasarkan wawancara terhadap kliennya dikaitkan dengan dokumen dan kesaksian yang disampaikan kepada kuasa/penasehat hukumnya.
Bertolak dari itulah maka kemudian Advokat menyusun sebuah skenario operasional yang secara metodologis disesuaikan dengan pedoman IRAC (issue, rule, analysis, conclusion) untuk dilakukannya suatu langkah hukum dalam menyelesaikan perkara.
Dalam sebuah kronologi dan data yang disampaikan oleh klien biasanya banyak ditemukan lebih dari satu masalah hukum, akan tetapi berdasarkan pilihan kebijakannya maka Advokat akan menentukan langkah strategis yang efektif berupa teknis penanganan perkara kliennya tersebut.
Dalam hal ini maka Advokat hanya memilih sebuah langkah hukum melalui prosedur yang efektif sebagai langkah penanganan perkara, bukan untuk diri sendiri atau dengan kata lain yang lebih sederhana adalah "mengurus urusan orang".
Langkah strategi atau teknis penanganan perkara oleh Advokat itu serupa dengan polisi yang membuat BAP atau Jaksa yang menyesuaikan tuntutan atau Hakim yang memberikan konsiderans (pertimbangan) untuk sebuah putusan, setiap rincian keterangan, setiap rincian delik, setiap rincian pertimbangan itu mempunyai konsekuensi tersendiri akan tetapi akibat hukumnya haruslah terlindungi.
Ada kepentingan lain yang harus dilalui demi kepentingan hukum yang harus dilindungi, seperti juga dokter yang harus melukai pasien dalam upaya menolong pasien.
Lalu mengapa teknik penanganan perkara dari Advokat yang hakikatnya netral dan objektif bisa secara terbuka dikriminalisir?!
Ini adalah kesesatan relevansi, argumentum ad hominem karena sekedar suka/tidak suka saja. Akhir-akhir ini banyak pihak membuat pernyataan dan pemberitaan media dengan menyebut istilah kriminalisasi yang berkonotasi negatif. Dalam pengertian umum istilah kriminalisasi diartikan mencari-cari kesalahan.
Dalam konteks neologisme, kata kriminalisasi menjadi kosa kata baru yang memiliki makna yang berbeda dari pengertian awalnya.
Definisi kriminalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan “proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat”.
Mereka yang mengerti dasar Hukum Pidana harusnya paham bahwa tidak setiap peristiwa atau kejadian dapat disebabkan oleh kesengajaan, karena ada saja peristiwa seperti kematian disebabkan oleh peristiwa alam atau peristiwa lain, dalam konteks teknis penanganan perkara oleh Advokat pastilah sudah melalui kajian matang dan suatu langkah dilakukan oleh karena ada suatu sebab yang secara hukum harus diselesaikan, bukan didasarkan kepada emosi apalagi karena perasaan suka/tidak suka (sentimen pribadi), namun meskipun terdapat causaliteit adequate tetaplah Advokat akan melakukan langkah hukum yang relevan, minim konsekuensi dan minim biaya serta didasarkan kepada hukum (acara) yang berlaku.
Lalu, apa jadinya jika setiap langkah yang dilakukan oleh Advokat kemudian dianggap sebagai perbuatan pidana?
Seolah aturan main atau pilihan (langkah) hukum yang dijalankan oleh Advokat seringkali dianggap salah atau dapat dipermasalahkan begitu saja, seolah Advokat adalah penegak hukum yang paling rapuh yang dapat dikambinghitamkan oleh kekuatan hukum atau kuasa lainnya.
Analogi yang relevan adalah dalam bidang kedokteran dimana kadang harus "melakukan perbuatan menyakiti" (seperti bedah/operasi) dalam mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya, menyakiti dalam konteks hukum dalam skenario Advokat adalah menegur atau memperhadapkan dengan konsekuensi hukum yang minimal atas suatu perbuatan yang menurut kajiannya telah memenuhi unsur pelanggaran atau merugikan hak-hak orang lain sebagai subjek hukum.
Saya rasa rekan-rekan Advokat yang sempat mengalami proses kriminalisasi ini sudah melakukan langkah atau prosedur standar dari makna asas legalitas yang menunjukan bahwa UU harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya (moneat lex, piusquam feriat) atau dengan kata lain upaya pertama yang dilakukan adalah upaya perdamaian atau menegur masalah etika oleh karena Advokat memahami bahwa setiap perkara biasanya mempunyai lebih dari satu unsur baik itu keperdataan atau pidana atau administratif atau lainnya dan dalam kajian dekriminalisasi terkait dengan asas subsidiaritas (ultimum remidum principle) penggunaan hukum pidana sebagai langkah terakhir saja yang ada dalam skenario Advokat secara umum ketika menangani sebuah perkara.
Pasti ada yang lebih penting dan mendasar untuk dilakukan oleh seorang Advokat dalam menjalankan profesinya ketika penanganan perkara kliennya dan harus dilindungi oleh hukum ketimbang unsur lain yang cenderung berkesan sentimen belaka terhadap profesi Advokat sehingga berusaha memperhadapkan langkah hukum (teknis-strategi penanganan perkara) Advokat untuk dikriminalisir melalui argumentum ad hominem ataupun kesesatan relevansi.
Save Advokat Indonesia, stop kriminalisasi Advokat!
Link: